Chapter 1

71 2 1
                                    

Sebenarnya, kehidupan Intan tidak berubah banyak. Sebelum Kesultanan berperang melawan Belanda, Intan dan keluarganya merupakan keluarga miskin di kampung pinggiran pelabuhan Meulaboh. Abi Intan merupakan seorang nelayan miskin. Ibunya telah meninggal ketika Intan masih berumur tiga tahun. Sejak berumur empat tahun, Intan telah membantu Abi menjala ikan di perairan pesisir Meulaboh. Intan diberikan tugas untuk memisahkan ikan-ikan kecil yang terjala dengan ikan-ikan yang lebih besar. Sementara itu, Abi mendayung dan menebar jala pada terumbu-terumbu karang pesisir Meulaboh yang menawan.

Intan merupakan seorang gadis rupawan. Tangannya sangat cekatan ketika sedang memasak atau sedang menjahit baju. Namun, tidak seperti kebanyakan gadis di Meulaboh, Intan dididik untuk melakukan pekerjaan laki-laki. Di seantero kampung, hanya Intan yang membantu ayahnya untuk melaut. Intan sanggup untuk membuat jala ikan, memperbaiki sampan ayahnya ketika rusak hingga ikut berkelahi apabila teman-temannya diganggu oleh teman laki-lakinya. Perangainya yang berbeda dari kebanyakan gadis di kampung itu membuat Intan menjadi bahan pembicaraan oleh para ibu-ibu.

Intan memiliki dua orang sahabat yang sering membantu dirinya apabila Intan dan Abi sedang mengalami kesulitan. Ahya dan Anisa namanya. Ahya adalah anak seorang kepala kampung, sedangkan Anisa merupakan anak bangsawan rendahan yang tinggal di dekat kampung. Mereka bertiga sehari-hari bertemu dan bermain di Pelabuhan Meulaboh.

Namun, semua kehidupan Intan berubah semenjak Belanda menyerbu Banda Aceh pada 26 Maret 1873. Waktu itu Intan baru berumur tiga belas tahun. Belanda membakar habis Banda Aceh. Masjid Agung kebanggaan kesultanan dibakar. Istana Sultan dirubuhkan. Ratusan tentara Aceh mati berkalang tanah di hari itu. Meskipun demikian, Belanda gagal menguasai Banda Aceh. Pemimpin serangan hari itu, Jenderal Kohler tewas ditembak. Setelah serangan itu, Intan yang masih belia telah membulatkan tekad: Intan harus menjadi prajurit Aceh.

Namun, keinginan Intan tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi. Abi melarang.

"Apa kau tega membiarkan Abi hidup sendirian karena kehilangan dirimu setelah aku kehilangan Ma?", tanya Abi.

Abi Intan ketika itu telah menjadi seorang tua. Tangannya sudah tak sanggup lagi mendayung sampan sendirian. Tangan-tangannya pun sudah tidak cekatan lagi memainkan jala yang dahulu menjadi keahliannya. Keahlian yang dimilikinya merupakan ajaran yang diberikan turun-menurun dari kakek buyut hingga Intan saat ini.

"Abi butuh kamu saat melaut, anakku."

"Tapi, Bi. Negeri kita memanggil kita untuk berjihad melawan Belanda itu."

"Nak, bentuk jihad terbaik itu bukan berperang. Tetapi, memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk diri kita sendiri dan orang di sekitar kita."

Jadilah Intan tetap menemani Abi melaut ke lautan lepas. Namun, isi kepala Intan pergi entah kemana. Paling tidak bukan di pesisir Meulaboh yang berpantai indah itu.

"Indah nian kampungmu anakku, kalau perang besar ini tidak ada", ujar Abi.

Mungkin dunia Intan dan ayahnya tidak berubah. Mereka tetap melaut dan menjala ikan demi menyambung hidupnya. Tetap miskin. Namun, dunia sekitar mereka berubah. Laut Meulaboh yang semula diramaikan dengan kapal dagang, berubah menjadi kapal perang yang berkeliling ke sana kemari. Sesekali kapal perang berbendera Tri Warna yang melintas. Sesekali terdengar suara tembakan meriam dan senapan. Pemuda-pemuda dari kampung mendaftarkan diri menjadi tentara. 

Menakutkan. Kelam. Tidak ada lagi tawa di kampung Intan.

Di Ufuk MeulabohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang