Tenda-tenda dibakar. Api membumbung ke udara. Kemudian, asap menyesakkan rongga dada. Gadis-gadis tawanan perang terjebak di dalamnya.
"Kita harus kabur, Ahya! Atau kita akan mati di sini."
Asap dengan cepat menyelimuti ke dalam tenda. Tiga gadis malang itu mati keracunan asap. Tinggal Ahya dan Intan berdua.
Tiang penyangga tenda seketika roboh. Tali yang mengikat kedua tangan gadis belia tersebut semakin menahan pergelangan tangan mereka. Mereka berteriak, namun suara mereka tidak sanggup mengalahkan bisingnya suara tembakan dan kobaran api. Mereka berpikir bahwa ajal mereka telah dekat. Segala bentuk puji-pujian kepada Tuhan mereka ucapkan dalam hati untuk menenangkan jiwa mereka masing-masing.
"Ya Allah, jangan biarkan kami mati dengan keadaan seperti ini."
"...."
"Bangun, Ahya!"
Tiba-tiba abu panas yang dihasilkan oleh ada yang dahulunya sebuah tenda itu membakar tali yang meningkat pergelangan tangan mereka dengan tiang kayu. Dengan tertatih-tatih, mereka merangkak keluar dari sisa-sisa tenda tersebut untuk menyelamatkan diri. Asap dan abu hasil kobaran api telah menyelubungi wajah dan paru-paru mereka berdua. Intan berusaha membangunkan Ahya yang setelah sadar itu. Mereka berusaha menyelamatkan diri dari markas Belanda itu. Intan menarik tubuh Ahya keluar dari tenda tersebut.
"Ahya, bangun Ahya! Aku tidak sanggup menarik tubuhnya sampai gerbang."
"..."
Keadaan markas itu kacau. Tentara dari kedua pihak mati bergelimpangan. Intan melihat sebuah jasad yang dia kenali. Jasad itu miliknya seseorang yang dahulu merupakan kapten kapal "De Houtman". Kepalanya berlubang ditembus peluru. Di sampingnya tergeletak sekarat seorang pemudi laskar Meulaboh yang mereka berdua kenal. Seorang anak bangsawan rendahan Meulaboh.
"Anisa!"
"Ahya... Intan... Beruntunglah kalian selamat. Cepatlah kalian per...."
"Jangan tinggalkan kami, Nisa!"
Mereka berusaha membawa jasad Anisa keluar dari markas itu. Debu-debu tanah dan mesiu bercampur menjadi satu, menghalangi pandangan mereka. Tiba-tiba seorang tentara Aceh datang menyelamatkan mereka.
"Tinggalkan saja temanmu disini! Markas ini sekarang kuburnya! "
Tentara Aceh itu membawa kedua gadis itu menuju gerbang masuk. Dari kejauhan, terlihat ratusan tentara Aceh masih merangsek masuk ke dalam markas. Berusaha melepaskan amarah dan kebencian akibat kekalahan yang telah mereka pupuk. Sementara itu, tentara Belanda yang masih berjumlah ribuan itu membentuk garis pertahanan di dekat tenda jenderal mereka. Pada sekitar tenda tersebut telah dibangun pertahanan dari kayu sebelumnya. Suara meriam pertahanan Belanda masih terdengar jelas. Puluhan burung merpati pos dikirim untuk meminta bantuan dari markas-markas lain.
Di dekat gerbang masuk, seketika tentara Aceh itu rubuh. Dua orang tentara Belanda dengan jitu menembak pelipis dan punggung tentara Aceh itu. Intan dan Ahya pun jatuh bersamaan dengan tentara Aceh itu. Melihat kedua gadis itu sedang merangkak menyelamatkan diri, tentara tersebut kemudian memegang pakaian kedua gadis belia itu untuk ditembak mati. Pistol telah dikokang. Dengan setengah sadar, Ahya dan Intan menggigit tangan tentara tersebut hingga kesakitan dan kedua gadis tersebut melarikan diri keluar dari markas.
Kejadian tersebut terjadi begitu cepat. Seakan-akan waktu berhenti sejenak bagi kedua tentara itu. Kesakitan dan bingung. Dengan sigap, kedua tentara itu mengarahkan senapannya ke arah kedua gadis tersebut. Beberapa detik kemudian, desingan peluru kembali menyambar ke arah mereka. Di tengah kekacauan tersebut, dengan sigap tentara tersebut menembak balik dengan senapannya. Dua pemuda laskar gugur seketika akibat tembakan balasan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ufuk Meulaboh
Historische RomaneTahun 1895. Perang paling dahsyat di Hindia Belanda sedang berkecamuk di ujung pulau Sumatra. Seorang prajurit Korps Marsose yang terkenal, Karel van Dyke ditugaskan untuk menundukkan Kesultanan Aceh. Selama penugasannya, Karel bertemu Intan, seoran...