Takengon, 1890.
Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak Belanda menyatakan secara sepihak bahwa Perang Aceh telah usai dan Kesultanan Aceh telah dianeksasi ke dalam wilayah kesatuan Hindia Belanda. Hampir seluruh kawasan pesisir dan pelabuhan telah dikuasai oleh Belanda. Perbatasan selatan dengan Batak sebagian besar telah dikuasai oleh pasukan Belanda. Di tanah Batak pun juga terjadi pergolakan melawan Belanda yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII. Setidaknya, ada nasib dan perjuangan yang sama antara orang-orang Aceh dan Batak meskipun di masa lalu orang Aceh pernah menjajah tanah Batak.
Intan telah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa yang piawai memainkan rencong dan parang. Dia juga mampu menggunakan karabin dengan baik. Kehidupan peperangan telah menempa Intan yang dahulunya merupakan seorang gadis polos menjadi seorang pemimpin pasukan kantong gerilya Aceh di Takengon. Ahya, sahabatnya juga tumbuh menjadi pejuang dan menjadi tangan kanan Intan dari awal peperangan.
Meskipun Belanda telah menyatakan Kesultanan Aceh telah ditaklukkan, masih terdapat kantong-kantong gerilya di seluruh wilayah pedalaman Aceh yang masih mampu menyerang dan membuat pasukan Belanda repot. Oleh karena itu, Belanda membangun sebuah kesatuan khusus anti-gerilya yang dibuat untuk melawan gerilyawan Aceh. Marechaussee namanya.
Sebelum adanya Korps Marechaussee, tentara KNIL menjadi bulan-bulan atas tajamnya klewang dan rencong yang dipakai gerilyawan Aceh untuk bertempur. Pasukan-pasukan patroli KNIL yang tidak kenal medan dan tidak awas terhadap sekeliling biasanya menjadi incaran.
"Lapor, Uti Intan. Kami menerima laporan bahwa terdapat sebuah patroli Belanda sedang melewati hutan di pinggir Takengon. Mohon izin untuk menyerang, Uti."
Serangan gerilyawan Aceh memiliki pola serangan yang selalu sama.
"Allahu akbar!"
"Allahu akbar!"
Kelima tentara patroli Belanda itu kebingungan. Suara asing yang sayup-sayup terdengar seperti bahasa Arab terdengar dari sekitar mereka.
"Suara apa itu?"
"Hati-hati, Kapten! Sepertinya itu suara..."
"Suara apa?"
Gerilyawan Aceh itu menyerang dari segala sisi tentara patroli Belanda tersebut. Tentara tersebut berusaha menembak, namun senapan mereka terlalu panjang untuk menembak jarak dekat. Sementara itu, gerilyawan Aceh bertempur menggunakan klewang-klewang mereka. Mereka bertempur seakan-akan mereka hidup untuk mati hari ini. Tentara Belanda hanya mampu menangkis serangan klewang dan membalas menggunakan popor senapan dan bayonet yang terpasang di ujung senapan mereka.
Tentara yang terlatih untuk bertempur dalam medan terbuka dan di dalam benteng sekarang dipaksa untuk bertempur duel satu lawan satu hingga mati. Terlihat ketakutan dalam wajah-wajah tentara Belanda tersebut. Sebagian di antaranya mungkin baru berumur tujuh belas tahun. Mungkin ini pertempuran pertama mereka. Sementara, kapten yang memimpin mereka terlihat lebih tua dan berpengalaman dengan kumis pirang tebal yang dipeliharanya selama bertahun-tahun. Dia telah membunuh dua gerilyawan Aceh dengan bayonetnya.
Intan langsung memilih kapten tersebut sebagai lawan duel maut. Pertarungan antara hidup dan mati. Pertarungan untuk bertahan hidup. Intan menggunakan klewang yang telah bersimbah darah dari leher seorang tentara Belanda yang memohon ampunan atas hidupnya. Kapten tersebut menggunakan bayonet yang diujungnya telah menembus jantung dua gerilyawan Takenong.
Pertarungan berlangsung dengan amat dekat. Kedua orang tersebut bahkan dapat melihat bola mata masing-masing lawannya. Pengalaman tempur si kapten teruji pada momen ini. Kedua pihak menyerang dan bertahan sekuat tenaga untuk menjaga nyawa masing-masing tetap berada di dalam tubuhnya.
Tiba-tiba, mata si kapten terbelalak. Sebuah klewang tertembus dari punggung menuju dadanya. Dia mati seketika.
"Lama sekali kau Intan bertempur melawan si kapten berkumis itu."
"Hei, jangan kamu ambil bagianku. Kamu punya bagianmu sendiri, Ahya. Si tentara muda itu."
Setelah pertempuran berakhir, Intan menyuruh anak buahnya untuk menguburkan tentara Belanda dan gerilyawan yang telah gugur.
"Sungguh Ahya, mereka semua merupakan anak terbaik bangsanya masing-masing. Sayang, kita semua bertemu sebagai pihak yang berlawanan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ufuk Meulaboh
Ficção HistóricaTahun 1895. Perang paling dahsyat di Hindia Belanda sedang berkecamuk di ujung pulau Sumatra. Seorang prajurit Korps Marsose yang terkenal, Karel van Dyke ditugaskan untuk menundukkan Kesultanan Aceh. Selama penugasannya, Karel bertemu Intan, seoran...