Chapter 5

34 2 0
                                    

Amsterdam, 1883.

Sore itu udara sangat dingin di sekitar rumah keluarga Van Dyke. Musim dingin ketika itu jauh lebih dingin dari biasanya. Matahari pun berwarna lebih merah dibandingkan biasanya. Seakan-akan sedang menahan amarah.

Penyebabnya pun sekarang bukan misteri lagi. Sebuah gunung laut di antara Pulau Sumatra dan Jawa meletus. Setengah badan gunung itu hilang dimakan letusannya sendiri. Lima ratus ribu orang di kedua pulau tersebut tewas atau mengungsi. Berita pilu dari wilayah jajahan.

Berita pilu itu malah membuat Karel van Dyke penasaran dengan Hindia Belanda. Nama yang sebenarnya tidak terlalu asing baginya. Kakek Karel van Dyke, Cornelis van Dyke merupakan salah satu pelaut yang sering berdagang ke wilayah Hindia. Sebelum kakeknya meninggal, Karel sering diceritakan oleh kakeknya mengenai indahnya pantai bercampur pegunungan di pesisir barat Sumatra, kosmopolitannya Batavia dan suku-suku dengan bahasa dan pakaian yang aneh dari Borneo.

Selain kakeknya, ayah Karel juga merupakan seorang tentara. Ayahnya bertugas sebagai tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sedari Karel kecil, ayah Karel ditugaskan di Hindia Belanda menundukkan Kesultanan Aceh demi Raja dan Negara. Namun, ketika ayahnya pulang, Karel mendapati bahwa salah satu kaki ayahnya diamputasi. Namun, ingatan pengalaman tempurnya di Aceh tetap membekas.

"Ketika itu, pangkat Ayah masih prajurit satu. Ayah ditugaskan untuk menduduki sebuah kota kecil di pesisir barat Aceh. Namanya Meulaboh. Setelah pasukan Ayah berhasil menguasai kota tersebut, kesatuan Ayah diperintahkan untuk membangun sebuah markas dari kayu-kayu gelondongan yang ditebang di sekitar kota. Lebih mirip seperti benteng kecil dibandingkan dengan markas tentara. Kami membangun markas itu cepat sekali."

"Setelah itu bagaimana, Pa?"

"Sehabis kesatuan Ayah membangun markas tersebut, pasukan Ayah diserang oleh gerombolan pasukan Aceh yang datang entah dari mana. Sepertinya, tentara penjaga telah berhasil dihabisi sebelumnya sehingga informasi adanya serangan itu tak pernah sampai. Ketika serangan itu akhirnya terjadi, pasukan ayah bertahan sekuat tenaga. Mereka datang seperti gelombang yang tak putus-putus. Pasukan Ayah berhasil bertahan dengan korban yang sangat besar."

"Namun, ada satu hal yang membuat Ayah sangat terkesan. Di tengah-tengah pertempuran, Ayah menemukan sepasang gadis belia yang mencoba kabur dari markas. Ayah berusaha mencegah kedua gadis tersebut kabur, namun tangan Ayah digigit dengan sangat keras oleh salah satu gadis tersebut. Mereka berhasil kabur. Mereka seakan-akan hidup selamanya oleh karena itu mereka rela bertempur dan mati demi negerinya.... Di saat itu pula, Ayah melihat teman ayah tewas dan kaki Ayah terasa kelu dan menjadi seperti ini."

Obsesi seumur hidup dengan Hindia Belanda digantikan oleh kebencian yang teramat sangat. Karel tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah jajahan tersebut, namun dia sangat membencinya. Dia menganggap apa yang terjadi pada ayahnya saat ini merupakan kesalahan dari orang-orang yang tinggal di tanah jajahan sialan itu.

Di dekat persimpangan rumahnya, Karel menemukan pamflet.

"SLUIT JE AAN BIJ KONINKLIJK NEDERLANDSCH-INDISCHE LEGER!"

Karel mencoba peruntungannya. Dia mendaftarkan dirinya sebagai tentara kerajaan. Dia diterima.

Setelah masa pendidikan, Prajurit Karel ditempatkan sebagai tentara garnisun Batavia. Tugasnya: mengecek barang dagangan dan kantung pedagang yang memasuki kawasan Konigsplein. Pekerjaannya tidak sesuai yang dia harapkan. Namun, gajinya lebih dari cukup.

Karel tidak pernah peduli dengan perpolitikan Hindia Belanda.  Bahkan dia tidak tahu siapa nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat ini. Karel masuk tentara hanya membalaskan apa yang terjadi dengan ayahnya.

Di Ufuk MeulabohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang