Tak kusangka, setelah melewati perdebatan yang cukup alot dan berurai air mata. Akhirnya orang tuaku setuju dan mengizinkanku merantau.
Keputusanku untuk merantau sebenarnya sudah ada sejak aku lulus SMA dulu. Dulu aku bercita-cita untuk kuliah, karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan aku memutuskan untuk membuang mimpi itu. Tapi sekarang tujuanku berbeda, aku merantau hanya untuk bekerja. Entah jadi apa nanti tidak masalah yang terpenting pekerjaan itu tidak melanggar norma.
Tapi, Jakarta itu kota yang sangat besar. Aku bagaikan setitik debu di kota itu. Aku sama sekali tidak mengerti seperti apa Jakarta, aku hanya salah satu orang nekat yang mengadu nasib di kota metropolitan. Yang aku tahu Jakarta adalah kota metropolitan yang sangat padat aktivitas, padat penduduk, dan memiliki kehidupan malam yang ramai.
Jelas saja Ibu sangat tidak rela aku pergi. Ibu takut aku terjerumus ke dalam hal yang negatif. Terinjak-injak arus urbanisasi yang tak sesuai harapan. Aku tahu kekhawatiran ibuku, tapi tekat ini sudah bulat. Aku akan berusaha sekuat tenaga nantinya.
Saat ini aku berada di dalam kamarku. Aku memegang si Jaki, celengan berbentuk ayam jago. Aku sudah mengisi si Jaki sejak aku kelas satu SMA dulu. Semoga saja uang ini cukup untuk biayaku di Jakarta saat aku belum mendapat pekerjaan. Kita harus mempersiapkan hal terburuknya. Tapi amit-amit moga aja aku segera mendapatkan pekerjaan nantinya.
Aku merasa sayang sekali sama si Jaki, tidak tega aku memecahnya. Tapi aku harus 1... 2...3...
"Ah... Jakiku pecah. Oh Alhamdulillah duwite banyak."
Aku menghitung uangku, ada sekitar 2 juta seratus empat puluh dua lima ratus rupiah. Alhamdulillah tak sia-sia dulu aku tidak pernah pergi jajan... Cukup buat biaya otw hahay.
"Nduk... Ibu oleh mlebu?" (Nak... Ibu boleh masuk?)
"Nggih bu, masuk wae," (ya bu, masuk saja)
"Lho si Jaki mok pecah?" (Lho si Jaki dipecah?)
"Iya bu gak papa. Oh ya bu iki ana sejuta kanggo ibu. Kanggo mbayar sekolah e Fifi," (iya bu gpp. Oh ya bu ini ada satu juta buat ibu. Untuk bayar sekolah Fifi)
"Tapi nduk awakmu pie?" (Tapi kamu gimana?)
"Aku sanpun gadah duwit piambak," (aku sudah punya uang sendiri Bu)
"Maafke ibu yo nduk, awakmu dadi susah koyok ngene. Ibu ora iso menehi opo wae," (Maafkan ibu ya nak, kamu jadi sudah seperti ini. Ibu tidak bisa memberi apapun)
Ibu meneteskan air matanya lagi. Aku juga tak kuasa menahan tangisku.
"Bu... Rara gak papa. Iki wujud bakti Rara sama ibu lan bapak. Rara seneng bisa ngeringan ake baban keluarga iki. Aku lebih bangga punya ibu, bapak, Fifi yang sayang banget karo Rara," (bu... Rara gpp. Ni wujud bakti Rara kepada ibu dan bapak. Rara senang bisa meringankan beban keluarga ini. Aku bangga punya ibu, bapak, Fifi yang sayang banget sama Rara)
Aku memeluk erat ibu yang telah melahirkan dan merawatku dari kecil. Tanpa beliau aku bukanlah aku yang sekarang. Ibu membalas pelukanku tak kalah erat.
"Ibu sayang banget karo Rara. Ibu uga bangga. Rara jaga diri ya nduk," (ibu sayang banget sama Rara. Ibu juga bangga. Rara jaga diri ya nak)
"Iya bu."
"Rene tak ewangi noto barang seg arep mok gowo." (Sini ibu bantu menata barang yang akan kamu bawa)
Aku hanya mengangguk kecil.
Ibu memang cekatan, terbukti barang yang cukup banyak bisa muat hanya dengan satu tas. Tas sekolahku dulu. Tasnya masih cukup bagus dan kuat jika digunakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SI JELEK
RomanceWarning ! ! ! Ada adegan + + + Bijaklah dalam membaca ✓ Menjadi cantik adalah dambaan setiap orang. Namun, tidak bagi diriku. Cantik ini menyiksaku. Andai dulu aku dilahirkan dengan wajah biasa, tidak jelek tidak cantik cukup rata-rata, mungkin hidu...