Lebih Lama Lagi Kita Menanti Kepastian Hidup yang Dicungkup Tuhan di Kedalaman

23 1 0
                                    

Sebenarnya kebohongan itu mulai pucat warna, hendak kucat ia dengan cat kuku milik dongeng-dongeng ibu di masa lalu. Itu kelewat fantasi bukan? Apa sebaiknya yang harus kulakukan ketika waktu tergerus pelan dan hidupku perlahan memanjang kekurangan? Aku benar-banar gamang dan kadang galau pukang tak tentu pasal. Kupanggil Tuhan dengan doa-doa sengau yang aku sendiri pun tak paham apa yang kukatakan. Aku hendak memotong hawa napsu dan mencincangnya bila perlu, tapi ia tak tahu menahu ihwal kerusakan jiwaku. Aku hendak jadi hantu bagi diri sendiri, yang menciptakan ketakutan untuk membunuh keberanian dalam diri. Sia-sia. Permainan ini permen karet semata, lengket sebentar dan tidak masalah setelahnya. Hei pembaca, bisakah kau memberikan aku saran yang masuk kategori gila? Misal berdansa dengan ular paling berbahaya, atau menggali kuburan raksasa, atau bersenggama dengan pelita? Atau saran waras pun tak apa, misal tepuk tangan untuk sepasang pengantin yang tak bahagia, menggigit stroberi di kebun tetangga, atau memasuk sup dicampur tanah untuk membunuh kucing yang tak kunjung terjaga. Atau kau punya ide yang berada di tengah-tengahnya? Misal anak kecil yang telanjang dan tertidur memeluk tang, atau lelaki dewasa yang tidur di toilet sambil manarik-narik perkasasnya dan limbung sendiri, atau seorang perempuan tua yang malu melihat kemerosotan dadanya. Atau bisakah kau memesankan visa untukku, untuk kepergian jangka lama ke Australia, Amerika, Kanada, dan Tebing Janda. Atau memberikanku passport tanpa nama, untuk sekadar melihat kehindahan Veneuzuela, Antariksa dan Alien dalam surat kabar berbahasa Kamboja. Aduh, sepertinya puisi ini akan masuk ke lubang kelinci, keluar dari lubang hidungmu yang jarang dicuci, dan mati di kepala yang gagal mencerna apa saja, kecuali makanan sejenis cinta.

2019

Jalan Akal (Kumpulan Puisi Panjang)Where stories live. Discover now