13 : Irony

1.1K 187 14
                                    

Cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela yang terkunci, dan entah mengapa rasanya terasa lebih terik siang itu.

Hawa panas menjalar hampir ke seluruh tubuh, namun hal itu tidak dirasakan oleh gadis bertopi hitam yang kini tengah berjalan seorang diri di lorong.

Langkahnya tenang, dengan se-bucket azalea putih di tangan kanan, gadis itu mengusap keringatnya dengan punggung tangan yang lain sebelum akhirnya membuka salah satu pintu di antara pintu-pintu lain di lorong itu.

Senyum yang sedari tadi ia tahan seketika luntur saat menyadari bahwa ruangan itu kosong. Kekasihnya tidak ada di sana dan gadis itu seakan tahu kemana ia harus pergi.

Ryujin melangkah masuk, menaruh bucket bunga di atas kasur sebelum memandangi vas yang ada di nakas. Bunga disana masih tampak segar dan Ryujin seakan tidak tega jika harus menggantinya.

Apa seberat ini jika harus melepas Chaeryeong?

Ryujin tertawa kecil. Tawa itu ditujukan seakan menghina dirinya sendiri yang tengah kebingungan. Dadanya sesak, ada rasa bersalah yang terus menerus mencoba menjatuhkannya. Berkali-kali ia berpikir jika meninggalkan Chaeryeong adalah pilihan terbaik untuk menebus rasa bersalahnya.

Namun ia salah. Chaeryeong masih membutuhkan dirinya, begitu pun sebaliknya.

Ryujin melangkah keluar, meninggalkan bunga-bunga itu pada tempatnya, lalu menutup pintu ruangan dengan hati-hati. Tujuannya adalah ruang radioterapi namun langkahnya terhenti di ujung lorong. Ia tidak akan meneruskannya.

Ini akan lebih menyakitkan dari apapun saat ia melihat Chaeryeong menanggung rasa sakit dari efek samping pengobatan itu. Ia tidak akan sanggup.

Gadis itu menepi, mendudukan badannya pada kursi di sepanjang koridor. Kepalanya ia sandarkan pada dinding, matanya menatap lurus langit-langit rumah sakit bersama dengan pikirannya yang mulai melayang jauh. Akan lebih baik jika ia menunggu Chaeryeong di sini.

Ia tidak memiliki nafsu untuk pergi ke sekolah, bahkan melakukan hal-hal kecil pun ia kehilangan semangatnya. Chaeryeong memberi efek yang luar biasa pada hidup Ryujin dan gadis itu tidak akan siap jika ia harus kehilangan Chaeryeong.

Menyedihkan, rasanya Ryujin ingin menanggung semua rasa sakit yang Chaeryeong rasakan, kalau bisa.

Pintu ruang terapi terbuka, disusul oleh beberapa perawat yang keluar dari sana. Mereka berjalan melewati Ryujin sambil asik mengobrol. Samar-samar Ryujin mendengar percakapan mereka. Salah satu di antaranya mengatakan bahwa pasien bermarga Lee itu adalah gadis yang kuat.

Ryujin tersenyum. Itu gadisnya, dan ia merasa bangga.

Beberapa saat berlalu, gadis bertopi hitam itu bangkit berdiri, berniat mengahampiri ruangan itu dan melihat keadaan kekasihnya. Namun seorang dokter lebih dulu keluar dari sana, mendorong sebuah kursi roda dimana ada Chaeryeong terduduk di sana sambil memegang kantung infusnya sendiri.

Pandangan mereka bertemu, Chaeryeong terlihat lebih lesu dari sebelumnya namun hal itu tidak mengurangi sedikitpun kadar kecantikannya. Ryujin tersenyum hangat, menghampiri kekasihnya yang kini menatapnya dengan heran.

"Bukannya kau akan datang sore nanti?"

"Aku sudah rindu. Tidak tahan."

Chaeryeong tersenyum malu, berandalan di depannya sukses menghilangkan rasa sakit yang masih tersisa di sekujur tubuhnya. Ia mendongakkan kepala, menatap sang dokter muda dengan antusias.

"Apa saya boleh berkeliling sebentar sebelum istirahat?"

Sang dokter tersenyum. Mengangguk perlahan sebelum melepas genggaman tangannya pada pendorong kursi roda gadis itu, "Jangan terlalu lama, kau harus langsung istirahat setelahnya. Mengerti?"

August Rain ; itzy [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang