Laki-laki itu melenguh panjang karena lelah. Albumnya akan segera dirilis, dengan beberapa single untuk soundtrack film yang saat ini sedang dalam proses. Sudah hampir satu minggu kepalanya terisi penuh oleh hal -hal yang membuat tubuhnya seolah tidak diperbolehkan beristirahat. Rasa lelah itu yang membuatnya kerap kali dilanda emosi untuk hal yang sepele sekalipun. Dan ia menyadari keanehannya.
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi yang tengah ia duduki, menatap tempat tidur dimana seorang gadis yang saat ini tengah berbaring dengan wajah yang polos dalam keadaan terlelap. Beberapa rambutnya masih basah karena gadis itu malas untuk mengeringkam rambut setelah mandi. Ia tersenyum, entah mengapa ada keinginan untuk mengusap lembut rambut itu dan menariknya seperti kemarin.
Semenjak kejadian kemarin, gadisnya itu justru menjauhinya, meskipun sedang berada dalam satu ruangan seperti ini, makan bersama, bahkan beristirahat bersebelahan, tetapi seolah ia hanya angin yang lewat, gadis itu mengacuhkannya. Merasa tertelan dari bumi saat itu juga. Dan bukannya bersedih, anehnya dia justru marah. Marah yang aneh, Ingin rasanya mencecari gadis itu dengan ucapan kasar, bahkan serangan fisik. Tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya tetapi ia merasa semua ini karena kelelahan dan...mulai kembali pada masa depresinya.
Untuk Lauren? Demi Tuhan ia tidak tertarik. Fikirannya menjadi beralih karena itu masalah yang sering membuatnya bertengkar dengan El. Menurutnya, Lauren hanya menemaninya mengerjakan pekerjaannya akhir-akhir ini.Tentang kedekatannya, ia seperti tidak menyadari jika sikapnya berlebihan karena memang sudah terbiasa sejak ia mengenal wanita itu. Semuanya memang bercanda, dan ia baru menyadarinya jika hal itu memang tidak pantas untuk seseorang yang sudah bertunangan. Sangat tidak pantas. Bahkan untuk mengalungkan tangan di pinggang terlihat terlalu mesra meskipun mereka mati matian menjelaskan hubungan mereka hanya berteman.
Padahal Justin sendiri sering begitu. Ya, meskipun hanya untuk berfoto. Entah itu dengan rekan selebriti, fans, dan temannya yang lain. Tetapi untuk Lauren, semuanya terlihat begitu berlebihan. Entahlah apakah ia sedekat itu?
Dan semenjak Lauren kembali menemaninya, seolah ia tengah dipengaruhi atas perbuatan Ellen padanya beberapa tahun lalu. Hampir setiap hari wanita itu membahas El sampai telinganya berdengung menahan amarah. Terkadang ia sampai terpancing sendiri, tidakkah hidup El terlalu indah saat ini? Pergi saat ia ingin, dan kembali dengan keadaan Justin masih menggilainya, bahkan mengejarnya.
Tidak tahukan hidupnya saat El meninggalkannya dulu? Ia sudah seperti anak anjing yang tidak terurus. Seolah baru saja ditendang dari rumah padahal ia tidak melakukan hal yang salah dan fatal. Semuanya ia lalui dengan keadaan depresi berat, ditambah lagi ia harus berpura-pura bersama Emma demi kepentingan orang lain, membuatnya ingin bunuh diri saja karena belum rela.
Dan Lauren, temannya yang mencoba menemaninya saat itu. Di samping itu, Lauren juga membutuhkannya karena insiden gila yang membuatnya hampir kehilangan nyawanya. Semuanya seolah sedikit ringan, hanya sedikit, mengapa sedikit? karena Justin telah bersumpah untuk tidak melupakan El.Apapun yang terjadi padanya.
Lauren membantunya, menangani karirnya, sebagian kesehariannya. Tetapi, perlu digaris bawahi bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan Lauren. Hanya saja, ia tidak suka dengan anggapan El seolah Lauren adalah jalang di matanya. Itu terlalu mudah dan seolah tidak mempunyai otak. Apa yang El tahu tentang Lauren?
Memikirkan hal itu membuatnya ingin melemparkan kepalanya dari ketinggian, ada apa dengannya? Jadi ia harus bagaimana? Mengapa perlahan ia menjadi lebih kesal pada El? Ia ingin El bisa menerima Lauren. Karena Lauren-
Ah sudahlah. Ia hanya ingin berkata ia tidak bisa menjauhi Lauren khususnya untuk saat ini, hubungan pertemanannya sudah seperti saudara sendiri. Yang dulunya Lauren suka bermanja-manja padanya, hampir setiap hari bertemu dan pergi keluar, tiba-tiba harus dipaksa dikurangi. Bukannya tidak rela, hanya saja mungkin butuh waktu.
Tidak bisakah El diam saja untuk sementara? Yang jelas saat ini Justin sudah menjadi tunangannya bukan? Dan tentang sikap terlalu manis Lauren ia berjanji akan menegurnya jika terjadi kembali. Karena ia tahu prioritas, dan ia serius dengan hubungannya bersama El. Tidak bermaksud bertingkah seperti ‘kacang lupa kulitnya’ untuk mengurangi kedekatannya dengan Lauren, tetapi memang seharusnya seperti itu bukan? Sikap yang terlalu manis tidak pantas untuk seseorang yang sudah bertunangan. Namun sewaktu-waktu ia berfikir, bukan berarti saat El kembali ia harus memutus pertemanan bukan?
Justin tersadar dari lamunannya, menyadari tubuh El bergerak, menggeliat mencari posisi lain, membuat jubah mandi berwarna putih itu tersingkap di bagian kakinya hingga pahanya. Belum lagi aroma mawar dari sabun mandi dan shampo milik gadis itu kini menyeruak masuk ke dalam hidungnya.
Ia menelan ludah hingga jakunnya naik turun.
Sebegitu terobsesinya ia pada El. Semacam kecanduan ingin berbuat kasar.
Drrt..drrt….
Justin terkejut, suara dering ponsel milik El di atas meja membuyarkan imajinasinya. Oh yang benar saja, tidak mungkin ia berbuat hal gila sesuai keinginannya saat ini menyadari keadaan El sedang kesal kepadanya. Yang ada, gadis itu akan membencinya.
“Hallo” sapa gadis itu yang saat ini sudah dalam posisi duduk, jubah mandi bagian pundaknya merosot, menampakkan bahu yang proporsional dan warna kulit yang mulus. Terlihat kenyal dan lezat, ia jadi ingin menggi-
“Kau sudah di depan? Oh kau bercanda. Aku tidak mau”
Justin mengernyit mendengar ucapan gadis itu. Siapa yang saat ini sedang menghubunginya?
“Ya, tidak ada jadwal syuting, hanya jadwal istirahatku”
Ucap El lagi dengan nada mengantuk. Well ini sudah sore, dengan cuaca mendung dan gerimis seperti biasa. Tidak heran jika gadis itu menikmati waktunya untuk beristirahat.
“Siapa itu?” Potong Justin tiba-tiba, membuat El sedikit terkejut dan segera membalikkan tubuhnya karena posisi sebelumnya sedang membelakangi. Dan El tidak tahu jika Justin sedang menemaninya,
Gadis itu berdeham, setelah menatap Justin sepersekian detik, ia memutuskan untuk berdiri. Menuju ke arah lemari dengan sedikit pakaian santai di sana.
See? Justin hanyalah hantu untuk saat ini.
“Siapa yang menghubungimu, El? Dan kau mau kemana?”
Gadis itu mengambil baju secara acak tanpa gerakan tergesa-gesa.
“Kalau begitu aku ikut saja, setelah kupikir-pikir aku jadi bosan di kamar” ucap El pada si penelepon.
Oh demi Tuhan. Justin mengepalkan tangannya, menggenggam mouse yang saat ini berada di tangan kanannya. Dengan gerakan kasar ia kemudian menutup laptopnya.
“Apakah itu Hayden?!” tanya Justin lebih terdengar seperti gertakan. Ia juga tidak tahu mengapa jadi bertanya seperti itu, lagipula tidak ada lagi pemikiran lain. Jika itu Kenny, maka ia akan datang sendiri ke kamar El.
Dan apa maksudnya El akan pergi?
“Hey!” Panggil Justin lagi. Tetapi yang didapatinya, gadis itu justru melengos ke arah kamar mandi mungkin untuk mengganti bajunya.
“Ya, Hayden. Ada keperluan sebentar” jawab El tiba-tiba dengan suara menggema.
Gadis itu tengah mengganti bajunya dengan kaos pendek berwarna biru navy dengan bagian samping perut terdapat pita hitam yang dibentuk seperti jahitan hingga ujungnya menjuntai ke bawah melewati panjang kaosnya dipadukan dengan celana panjang berwarna putih.
Ia yakin akan pergi hari ini, karena entah mengapa moodnya menjadi buruk setiap kali melihat Justin. Menggantung jubah mandinya, lalu ia segera menuju ke westafel. Mencuci wajahnya sekaligus menggosok giginya, meskipun sudah mandi tetap saja wajahnya menggambarkan seseorang yang baru saja bangun dari tidurnya.
Setelahnya ia menuangkan satu tetes serum ke telapak tangannya, mengusapnya dengan kedua tangan bertautan lalu ia letakkan pada wajahnya dengan cara menepuk-nepuk pelan. Memakai pelembab wajah, dan juga pelembab bibir dan ia selesai.
Melihat pantulan dirinya sendiri di cermin sekali lagi, lalu ia segera menarik pintu untuk keluar.
“Oh astaga” gumamnya spontan melangkah mundur mengetahui Justin berada tepat di hadapannya dengan wajah datarnya. Matanya mengintimidasi seolah mendorong tubuhnya ke sudut gelap ruangan.
“Bukankah sudah kubilang kau tidak boleh pergi hari ini?” Justin meletakkan tangannya ke sisi pintu, membuat pagar agar gadis itu tidak segera kabur.
“Aku tidak meminta izinmu” balas El singkat. Tubuhnya berusaha menubruk lengan kekar milih Justin, namun rupanya tidak semudah itu.
“Justin singkirkan tanganmu”
“Kau ini kenapa? Bukankah aku sudah meminta maaf padamu kemarin? belum memaafkanku?”
El bertingkah tidak peduli, seolah Justin hanyalah asap di depannya. Tidak bisa didengar, hanya saja mengganggu penglihatannya.
“Memangnya apa untungnya memaafkanmu? Apakah Lauren akan-
“Bicarakan tentang dirimu sendiri, jangan beralih kepada orang lain” bantah Justin mengernyitkan alisnya. Telinganya mulai berdengung mendengar masalah itu lagi dan lagi.
“Aku? Aku baik baik saja. Maaf jika kau tidak suka aku membicarakan wanitamu, maka dari itu biarkan aku pergi agar tidak mengganggu”
El mendorong paksa tubuh Justin dengan sekuat tenaga, membiarkan laki-laki itu mundur dan hampir saja terjengkang jika saja tidak berpegangan pada dinding di sampingnya.
“Tidak. Aku melarangmu”
“Urus karirmu, aku tidak ingin mengganggu”
Justin mengikuti gadis itu berjalan ke luar kamar dengan tas berwarna hitam kecil menggantung di pundak kirinya.
“Aku membutuhkanmu menemaniku, El”
El merasa telinganya gatal seperti dikerubuti semut,
“Sudah ada yang menemanimu, lalu apa gunanya aku? Menjadi patung?”
Gadis itu sudah menuruni anak tangga, dan Justin masih mengekor di belakangnya.
“Aku membutuhkanmu, kau saja yang pergi begitu saja setiap saat”
“Tolonglah Justin aku geli melihat wanita itu, terdengar seperti kau mengajakku untuk satu ruangan dengan ulat bulu yang memenuhi lantai”
“Lagipula aku tidak pergi untuk bermesraan, aku hanya membantu Hayden sebentar. Dasar idiot”
Justin berhenti, entahlah mengapa seolah ia tidak mau mengejar gadis itu lagi. Membiarkan gadis itu pergi dan perlahan menghilang ditelan belokan di lantai bawah sana. Ia yang masih berdiri di tengah anak tangga mengambil langkah berbalik dengan tangan mengepal.
Untuk saat ini ia akan diam saja, dan entah ada dorongan darimana ia merasa ada bisikan untuk menghabisi gadis itu nanti saat kembali.
Sampai ia berfikir haruskah ia menemui psikiater untuk menanyakan mengapa sikapnya semakin tidak bisa dikendalikan untuk menyerang gadis itu. Jiwa psikopatnya sedari bertemu gadis itu di awal syuting menjadi lebih liar.
Terkadang sifatnya mendadak lembut dan romantis, possesive, dan tiba-tiba buas. Dan ia sudah menahannya sedari awal. Hanya saja dia baru menyadari hal itu akhir-akhir ini meskipun ia sadar 100% bahwa El sudah menjadi miliknya. Dan maka dari itu, ia ingin berbuat sesukanya setelah itu. Karena gadis itu miliknya. Hanya miliknya.
Dan dengan adanya masalah, hal itu awalnya memang menyakitinya, tetapi setelah difikirkan kembali, ia mulai merasa semuanya menjadi menyenangkan. Seolah memiliki alasan untuk menyakiti gadis itu.
Apakah ini akibat depresi berlebihan yang menyatu bersamaan dengan balas dendam di dalamnya?
Justin tersenyum miring setelahnya, lalu kembali menyibukkan dirinya di depan laptop. Berfikir apa yang akan ia lakukan malam ini.
Bersambung
(Next besok)💕
![](https://img.wattpad.com/cover/73221886-288-k893183.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Behind The Camera [Justin Bieber]
Hayran KurguEllen, gadis itu meninggalkan Justin 2 tahun lalu dengan alasan konyol. Hal itu membuat Justin depresi hingga ia berubah menjadi seseorang yang buruk dan menyedihkan. Lalu, mereka bertemu kembali dalam sebuah drama yang mengharuskan keduanya bermain...