"Kau tidak lupa membawa mini P3K yang mama belikan, kan?"
"Iya, tidak lupa."
"Bagaimana dengan charger handphone?"
"Itu juga bawa."
"Senter?"
Ia tertawa kecil menanggapi pertanyaan ibunya, lalu menjawab. "Ma, aku mau kuliah disini. Bukan kamping."
"Tapi bagaimana kalau mati lampu?"
"Tenang saja, mama. Mereka pasti punya senter atau generator disini." Gun berusaha menenangkan ibunya, ia berhenti di depan sebuah gedung. "Aku sudah sampai di asrama, aku akan menelponmu lagi setelah ini."
"Baiklah," Gun bisa mendengar desahan nafas khawatir dari ibunya.
"I love you."
"Hmm, i love you too." Lalu ia mematikan sambungan telepon.
Tinggal jauh dari rumahnya membuat Gun harus tidur di dalam asrama. Ia adalah seorang yang sulit tidur jika ada orang lain di dalam kamarnya namun karena ibunya tidak menginginkannya untuk tinggal sendirian di apartemen, ia terpaksa tidur di asrama.
Gun menghela nafasnya dengan koper di tangan kiri dan kardus berisikan buku-buku novel di tangan kanannya, ia sudah berdiri di depan gedung asramanya. Gedung bertingkat empat dengan kamar yang cukup besar untuk dua orang serta kamar mandi pribadi. Kamar Gun berada di lantai dua nomor 27.
Ia menyeret kopernya dan masuk ke dalam gedung asramanya. Sebatang pohon kayu yang besar menyambutnya setelah pintu terbuka, mungkin umurnya sekitar ratusan tahun, berdiri tinggi, menebarkan lengkungan teduh di atas aula. Orang-orang berseliweran — kebanyakan pria, karena itu adalah asrama pria. Tertawa, saling menabrak, berkata kasar, masuk dan keluar dari pintu kamar masing-masing, semua orang membawa tas dan kotak dan barang-barang dari rumah.
Inilah tempat ia akan tinggal selama empat tahun.
Cukup mengintimidasi.
Ketika Gun memikirkan soal universitas, ia akan berpikir tentang bagaimana dewasanya orang-orang yang ada disana namun nyatanya tidak banyak berbeda dari SMA, mungkin jauh lebih buruk.
Gun masuk ke dalam lift dan pergi ke lantai dua. Ia berdiri di depan kamarnya, merogoh kantung celananya untuk mencari kunci asramanya saat beberapa orang pria yang sedang mengobrol lewat di dekatnya dan salah satu dari mereka tidak sengaja menabrak Gun hingga membuat kardus yang berisikan buku-buku novelnya jatuh ke lantai.
"Aw, sorry." Ucap pria itu. Gun mendengus pelan, lalu ia berjongkok dan memasukan buku-bukunya kembali ke dalam kardus. Pria itu ikut berjongkok dan membantunya, "Biar aku bantu." Katanya.
Gun menatap wajahnya. Pria itu cukup tampan, dengan wajah yang terlihat oriental, mata sipit, telinga yang ditindik dan tato yang terlihat di samping leher kirinya. Pria itu terlihat seperti ia baru saja keluar dari majalah, ia memiliki keseimbangan wajah sempurna antara bahaya dan pesona, pesona yang memikat dan terlarang.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri."
"Kau terlihat kesulitan tadi, aku akan memegang kardusmu dan kau bisa mencari kuncimu."
Gun akhirnya mengalah, kali ini ia merogoh kunci dengan mudah, membuka pintu dan pria itu masuk mendahului Gun lalu menaruh kardusnya ke atas meja belajar yang masih kosong disana. Dilihat dari koper lain yang sudah berdiri di dalam kamar, sepertinya teman sekamarnya sudah datang lebih dulu daripadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Collide
FanfictionGun Atthaphan yakin dirinya bukanlah orang yang bodoh. Ia pindah dari kota kecil ke Bangkok dan kuliah di universitas Narit, dan meskipun diam-diam ia adalah seorang yang menginginkan kisah cintanya sama seperti yang ada di dalam buku, ia tetap berj...