3

3.1K 556 28
                                    

Senandung dari bibir Lavira terhenti seketika tatkala ia melihat seseorang yang mencurigakan. Ia yakin lelaki itu ingin mencuri dompet pria di hadapannya. Dirinya langsung melepaskan hak tingginya untuk dilemparkan ke sang pencuri.

Pencuri tadi memekik dan memegangi bahunya. Sementara dompet yang baru saja ia ambil terjatuh. Bertepatan dengan sang pemilik dompet yang menengok.

Tak cukup dengan satu lemparan Lavira melempari pencuri itu. Ia melempar kembali dengan hak pasangannya yang tepat mengenai dahi lelaki itu saat menengok ke ayahnya. Kemudian, ia berlari mengejar pencuri.

"Copet!" teriaknya dengan tatapan nyalang. Namun, sang pria yang menjadi korban pencuri itu tidak beraksi sedikit pun. Ia malah menatap lurus ke arah Lavira.

Pencuri itu pun lari begitu saja karena sang pria yang dicuri tak bergerak sedikitpun. Lavira mengumpat begitu menyaksikan apa yang baru dilihatnya.

"Enggak usah dikejar." Tiga kata itu membuat Lavira terdiam. Ia tertegun dengan suara yang begitu familier.

Lavira menatap sosok yang menggunakan topi dan kacamata hitam di hadapannya. Lelaki itu melepas kacamatnya. Terlihat kantung mata yang menghiasi kelopak matanya.

Lavira mundur selangkah dengan tatapan tak percaya. Ia menggeleng mencoba menyadarkan dirinya kalau itu semua mimpi.

"Vira," panggilnya dengan nada lembut dan tatapan hangat.

Lavira mengingat kembali kejadian empat tahun yang lalu, ketika lelaki itu pamit setelah menciumnya. Ia masih ingat rasa manis di bibirnya yang membuat dirinya refleks menutup mulut.

"I ... iya," sahut Lavira dengan raut wajah kikuk, "apa kabar Tuan Arven?" Hanya kata itu yang terlintas di pikiran Lavira. Ia bingung berkata apa.

"Tuan?" ulang Arven seraya mengernyit. Ia tak mengerti kenapa wanita yang dicintainya mengubah panggilan "Kak" menjadi "Tuan", seperti tengah menciptakan batas yang begitu kokoh.

"Saya sekarang bekerja di perusahaan keluarga Anda. Jadi, saya harus memanggil Anda denga tuan, kan?" Lavira menjelaskan setenang mungkin supaya tak tergagap.

Arven berdecak, "Kamu bercanda?"

"Enggak, saya sekretarisnya Bos Arvian."

Arven mengerjapkan matanya seketika. Ia menatap Lavira dengan tatapan tak percaya.

"Kok bisa?"

Lavira tak menjawab. Ia berjongkok untuk mengambil dompet milik Arven dan hak tingginya.

"Ini dompetnya, Tuan."

"Terima kasih. Kamu banyak berubah, Lav." Arven menatap nanar penampilan Lavira. Entah kenapa ia merasa sedih dengan perubahan Lavira yang drastis. Cintanya itu dulu pemalu, menggunakan gaun yang mencolok saja malu. Berbeda dengan sekarang yang dirinya lihat.

Lavira kini menggunakan crop top model v neck yang memperlihatkan belahan dadanya begitu jelas. Hot pants yang ia kenakan menambah kesan seksi karena kaki jenjangnya yang terekspos. Belum lagi gincu warna merah yang menghias bibirnya, menambah kesan dewasa.

"Berubah?" Lavira menyelipkan rambutnya di daun telinga untuk menghilangkan kegerogiannya. Ia pura-pura tak paham dengan perkataan Arven.

"Apa Arvian yang membuatmu seperti ini?"

Lavira menepuk tangannya sekali, "Lelucon macam apa itu." Ia terkekeh.

"Kamu senang seperti ini?" tanya Arven dengan nada tegas seraya memegang kedua bahu Lavira. Seketika hak tinggi yang dipegang Lavira terjatuh.

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang