8

2.7K 437 14
                                    

Lavira menyisir rambutnya ke belakang dengan raut wajah kesal. Ia merutuki dirinya yang tidak bisa mengendalikan ucapannya. Ia masih ingat kejadian beberapa tahun lalu ketika melihat Arvian setelah sekian lama tak berjumpa. Pakaian lelaki itu begitu lusuh, wajahnya terlihat letih, matanya memerah, rambutnya acak-acakan, dan berjalan sempoyongan di taman.

Kala itu, Lavira hanya melihat dari dalam mobil bersama ayah Arvian. Mereka hanya memantau lelaki itu yang akhirnya jatuh terjembab di jalan yang becek, lalu anak buah Fabian bergerak untuk menjemput tuan mudanya.

Air mata Lavira menitik saat menyaksikan kondisi Arvian yang tak terawat. Lelaki itu mengalami depresi begitu kembali ke rumah setelah menghilang beberapa waktu. Ia jarang makan, tidur, dan terus bekerja keras tak mengenal waktu. Dan, selalu menghabiskan malam minggunya di bar.

Bahkan Arvian pernah jatuh dari tangga, hingga kecelakaan mobil karena pengaruh alkohol. Maka dari itu, Lavira menerima pekerjaan dari Fabian menjadi sekretaris Arvian agar bisa mengawasi gerak-gerik Arvian, walau awalnya ia menolak tapi pada akhirnya ia luluh dengan bujukan mantan calon mertuanya.

Kini, Lavira mencoba mengontrol emosinya agar tidak semakin meluap. Ia takut kalau kelepasan terlalu menyudutkan Arvian dan lelaki itu merasa sangat bersalah dan kembali terpuruk. Meski ia sangat kesal pada perilaku Arvian di masa lalu, tapi dirinya tetap tidak bisa membenci pria yang pernah bertunangan dengannya itu.

"Ian," Lavira memegang bahu Arvian seraya menatapnya dengan lembut, "maaf, aku enggak--"

"Bukan kamu yang harus minta maaf, tapi aku yang salah. Seharusnya aku enggak jadi orang ketiga di dalam hubunganmu dengan kakakku. Gara-gara aku kalian berpisah, gara-gara aku kamu mengkhianati kakakku. Aku juga minta maaf karena meragukan cintamu padaku."

Arvian merasa senang dan sedih sekaligus mengetahui Lavira benar-benar mencintainya dulu. Ia senang karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Namun, ia sedih karena telah mencuri kekasih kakaknya. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati sang kakak saat itu, ketika mengetahui Arvian akan menikah dengan Lavira.

Lavira terperanjat kaget. Manik matanya membulat. Selama ini, ia yakin kerabat maupun keluarganya tidak ada yang tahu kalau dirinya pernah berpacaran dengan Arven. Bahkan, ia juga memohon ke Arven untuk tidak mengatakan masa lalu mereka pada siapa pun, terutama pada Arvian.

'Mungkinkah Arvian meninggalkanku karena dia tahu kalau aku pernah menjadi kekasih kakaknya dan pergi tanpa kabar begitu saja.' Lavira memijit pelipisnya yang terasa pusing. Manik matanya perlahan-lahan tertutup dan ia tumbang seketika.

***

Lavira terbangun karena udara pagi yang terasa dingin di tubuhnya. Ia langsung menengok ke sekitar dan mendapati jendela kamarnya terbuka. Diingat-ingatnya apa yang terjadi semalam, semua kejadian terlintas berurutan di pikirannya. Ia terburu-buru beranjak dari kasurnya untuk mencari Arvian.

Lavira membuka pintu kamarnya dan berpapasan dengan Arvian yang membawa baki. Di atas baki itu terdapat semangkuk sup dan segelas teh.

"Ian," panggil Lavira seraya menatap Arvian yang tampak lesu, tapi bibirnya menyungingkan senyum. Jelas terlihat sangat dipaksakan.

"Maaf aku mengacak-acak dapurmu," balasnya setenang mungkin, meski detak jantungnya tak menentu dan perasaannya tak keruan, "aku hanya ingin membuatkanmu sup."

"Terima kasih. Biar aku bawa sendiri bakinya," Lavira memegang baki itu tetapi Arvian menggeleng.

"Kamu lagi sakit. Jangan bawa yang berat-berat."

Lavira mengangguk. Ia menuruti ucapan Arvian agar tidak terjadi perdebatan lagi.

Lavira berjalan di belakang Arvian. Ia terus mengamati punggung lelaki yang akan segera ia tinggalkan. Dirinya tak bisa bersama Arvian lagi karena kebersamaan mereka hanya akan membuat satu sama lain saling terluka. Namun sebelum pergi, Lavira harus memperbaiki hubungannya sebaik mungkin dengan Arvian agar lelaki itu tidak merasa bersalah, apalagi sampai depresi.

"Kamu duduk aja," Arvian melirik ke sisi ranjang, mengisyaratkan agar Lavira duduk di situ, "biar aku suapin."

Lavira menolak, "Enggak usah, aku bisa makan sendiri."

"Kamu marah?" Perkataan itu refleks keluar dari bibir Arvian yang melihat tatapan Lavira seperti tengah meredam amarahnya.

"Enggak, harusnya aku berterima kasih. Kamu telah menjagaku semalam."

"Enggak usah berterima kasih. Kamu pingsan karenaku," Arvian menyodorkan sesendok sup, "sebagai permintaan maafku."

Lavira tanpa banyak bicara membuka mulutnya, langsung mengunyah suapan dari Arvian.

"Lav, aku harap kita bisa jadi teman." Arvian menunduk tidak berani menatap Lavira. Ia benar-benar ingin memiliki hubungan pertemanan yang normal. Ia yakin selama ini Lavira sebenarnya hanya berpura-pura menjadi temannya karena kasihan.

Lavira tidak menjawab.

"Kita selesaikan semua masalah di masa lalu. Aku akan melakukan apa saja agar kamu memaafkanku dan aku mohon kita bisa menjadi teman yang sesungguhnya. Bukan seperti ini."

"Udahlah, lupain aja. Dulu kita udah janji enggak bahas masalah itu lagi. Seharusnya semalam aku enggak bahas itu lagi. Aku cuma kesal dengan perlakuanmu padaku malam minggu kemarin," aku Lavira setengah sadar. Ia memang kesal dan kecewa pada Arvian begitu mengingat apa yang terjadi saat ia mabuk. Namun, ia lebih kesal, kecewa, dan marah pada dirinya sendiri.

"Aku juga minta maaf untuk itu. Seharusnya aku enggak minum."

Lavira tersenyum simpul, "Kamu enggak mabuk sama sekali." 'Kalau kamu mabuk, kamu enggak akan pergi,' lanjutnya dalam hati.

"Maaf, aku emang berengsek. Iya, aku enggak mabuk. Aku sadar tapi tetap saja melakukannya. Seharusnya aku menjagamu, bukan mengambil kesempatan saat kamu enggak sadar."

Tbc...

Aku ngetik tadi hilang. Heyy, apa kabar? Mau nongon kemarin Juma'at tapi ada insiden. Bibirku sobek, gigiku remuk 😭😭 Baru bisa ngomong hari ini.

Yang punya Joylada bisa baca ceritaku di sana juga. Sama akunnya Lanavay.

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang