6

2.6K 506 39
                                    

Arvian langsung membopong Lavira agar mau keluar, setelah meletakkan buket bunga di meja kecil tempat asbak hiasan.

"Ehh...," Lavira terkejut dengan tindakan sang bos, meski ini bukan pertama kalinya Arvian menggendongnya.

Arvian hanya tersenyum singkat.

"Yang tadi itu lukisan pre wedding, kan?" Lavira memastikan.

"Kamu sepertinya masih mabuk atau kamu minum lagi? Saya saranin jangan terlalu banyak minum yang beralkohol. Kamu nyeremin kalau mabuk." Arvian tidak bercanda dengan ucapannya. Ia cukup terkejut dengan perilaku Lavira semalam. Perempuan itu semalam menangis, mengomeli dirinya seraya terus memukul, serta tindakannya berubah menjadi agresif.

Lavira terbungkam. Ia teringat kembali apa tujuannya kemari. Dirinya ingin meminta maaf perihal apa yang telah diperbuatnya semalam. Dirinya hanya ingat kalau ia memukuli Arvian hingga lelaki itu terjungkal dari ranjangnya beserta dirinya yang terjatuh di atas tubuh sang bos dan tak langsung bangun malah memandangi wajah Arvian seraya mengusap pipi lelaki itu.

Ada kejadian samar pula yang ia ingat. Sekelebat bayangan dirinya berciuman dengan Arvian terngiang di memorinya yang entah itu hanya bagian dari mimpinya semalam atau memang benar-benar terjadi. Ia benar-benar sangat malu kalau memang itu terjadi.

Lavira yang mencoba mengingat kejadian semalam tak sadar ia tengah meremas kaus sang bos.

"Lav, bisa enggak kamu lepasin baju saya."

Lavira yang masih melamun tak sadar dengan ucapan Arvian

"Lav," panggil Arvian beberapa kali. Baru ucapan keempat perempuan itu mengerjapkan matanya, pertanda ia sadar lamunannya.

"Tangan kamu." Arvian melirik ke arah cengkeraman Lavira.

"Ma-maaf." Dielpasnya baju Arvian dengan tatapan kikuk.

Selepas itu Arvian mendudukkan Lavira di sofa panjang.

"Ngomong-ngomong kamu ke sini mau apa?"

"Saya mau minta maaf soal semalem," kata Lavira dengan menunduk tidak berani menatap Arvian.

"Seharusnya saya yang minta maaf. Kamu mabuk berat, sementara saya masih setengah sadar. Seharusnya saya bisa mengontrol diri saya."

Debaran jantung Lavira menjadi tak keruan, dadanya terasa sesak seketika. Air matanya ingin keluar, tapi ditahannya agar tidak tumpah. Bibirnya ia kulum agar tak terisak. Diremasnya gaun yang ia pakai.

Arvian mengenggam tangan Lavira erat.

"Sekali lagi saya minta maaf. Saya harap kita masih bisa berteman kayak biasanya."

"Jadi benar saya semalam menggoda Anda?" Lavira mendongak dan manik matanya membulat seketika, tatkala menyadari bercak merah keunguan di leher Arvian. Tangan yang digenggam Arvian pun terlepas. Ia langsung menutupi bibirnya bersamaan dengan air mata yang menitik.

Arvian mengerjap. Ia menyadari kalau Lavira tak mengingat apa yang terjadi semalam. Dirinya ragu mengatakan hal yang sebenarnya karena pasti itu akan membuat Lavira merasa malu, sedih, dan terluka.

"Enggak. Kamu semalam marah-marah sama saya. Saya yang enggak bisa kontrol emosi terus saya bentak kamu dan akhirnya kamu nangis." Arvian tak sepenuhnya berbohong. Semalam, ia benar-benar kesal dengan Lavira sehingga ia mengomeli perempuan itu tapi tidak sampai meninggikan suara, bagaimanapun dirinya tidak pernah bisa berteriak-teriak ketika kesal. Namun, hal itu malah membuat Lavira bertambah sedih.

"Anda bohong, kan? Leher Anda--" Lavira kembali menutup bibirnya.

"Ini bukan apa-apa, kebentur doang waktu renang. Kalau enggak percaya tanya Arven."

Lavira memegang dadanya, "Terus kenapa di sini juga banyak bercak yang sama seperti di leher Anda."

Arvian tersenyum kikuk, "Itu kanu alergi mungkin. Bisa jadi akibat kebanyakan minum."

Lavira menggeleng. Walau ia tidak ingat semua yang telah terjadi semalam, tetapi dirinya tidak bodoh dengan apa yang tampak. Pasti sesuatu yang tak seharusnya terjadi sudah kejadian.

"Tolong katakan sejujurnya."

Arvian meringis. Ia bingung ingin menceritakan dari mana. Pasalnya Lavira dulu yang memulai, bukan dirinya. Ia takut Lavira syok dan menjauh darinya.

"Udah lupain aja. Saya males mbahas apa yang terjadi semalam."

"Jangan-jangan--" Lavira menutup bibirnya dengan kedua tangannya sebentar, meneguk salivanya sebelum bicara kembali, "bener saya udah enggak suci lagi."

"Enggak," tekan Arvian spontan, "kalau kita sudah melakukannya enggak mungkin hari ini kamu bisa jalan normal."

"Tapi--"

Arvian memegang kedua bahu Lavira, "Kamu enggak percaya sama saya?"

"Enggak. Saya enggak pernah percaya sama pembohong seperti Anda. Anda sering bohong sama saya."

"Kalau gitu percuma saja kan kamu tanya ke saya. Apa pun yang saya katakan kamu enggak bakal percaya. Mendingan kamu pulang aja, istirahat di rumah. Kamu pucet banget." Arvian mengusap kepala Lavira dengan lembut, sebelum beranjak hendak meninggalkan sekretarisnya itu.

"Ada satu hal lagi yang mau saya tanyakan. Meski Anda enggak mau jawab jujur tapi tolong setidaknya dijawab. Kenapa di kamar Anda ada lukisan itu?"

Arvian terus berjalan pura-pura tidak mendengar ucapan Lavira.

Lavira mengejar Arvian, lalu menahan tangan lelaki itu.

"Saya capek, Lav. Saya mau tidur. Kamu pulang aja."

Tbc...

Tahan yang masih penasaran lukisan apa wk wk

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang