7

2.5K 474 46
                                    

Arvian menekan bel pintu apartemen Lavira berulang dengan perasaan berkecamuk. Seharian ia memikirkan sekretarisnya yang tidak masuk kerja tanpa memberi kabar. Kontaknya juga tak bisa dihubungi. Ia takut Lavira kenapa-napa.

"Lav, kalau kamu ada di dalam tolong buka pintunya. Kalau ada masalah kita bisa bicarain baik-baik."

Tak lama kemudian pintu apartemen terbuka. Arvian langsung memeluk Lavira. Sementara yang dipeluk langsung mendorong Arvian agar menjauh dari tubuhnya.

Arvian langsung melepaskan pelukannya begitu menyadari kalau Lavira tidak merasa nyaman akan tindakannya.

"Lav, kamu pucet banget. Kamu udah ke dokter?" tanya Arvian cemas. Ia hendak memegang pipi Lavira, tetapi malah ditepis oleh sekretarisnya itu.

"Saya enggak pa-pa. Anda enggak usah cemas. Lebih baik Anda pulang sekarang karena sudah malam."

"Kamu marah ya sama saya?"

"Enggak, kok. Itu perasaan Anda aja kali."

Arvian mengambil buket bunga dan cokelat panas yang ia letakkan di bangku sebelahnya.

"Saya bawain cokelat hangat kesukaan kamu."

"Maaf tapi saya lagi enggak suka minum yang manis-manis," tolak Lavira yang enggan menerima cokelat panas maupun buket bunga pemberian Arvian.

Arvian meringis. Ia paham sekali kalau Lavira benar-benar marah padanya. Apalagi kalau perempuan itu sudah mengingat apa yang mereka lakukan saat malam minggu kemarin.

"Lav, saya bener-bener minta maaf. Kita bicara sebentar, ya." Arvian langsung menerobos masuk ke dalam apartemen Lavira.

Lavira mendesah pasrah. Ia langsung menutup pintu dan mengikuti Arvian dari belakang dengan lesu.

Arvian yang melihat dari jauh banyak kardus, plastik, dan kotak untuk mengemasi barang-barang langsung berlari mendekat. Ia menatap ke sekelilingnya yang terdapat banyak barang yang sangat ia kenal karena dirinya sendiri yang membeli semua itu. Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat apa yang telah ia berikan ke Lavira itu dikemasi seperti itu. Arvian tak bodoh menganggap Lavira ingin menyimpan atau menata ulang hadiah dan kado pemberiannya. Pasti perempuan itu ingin menyingkirkannya.

Arvian meletakkan buket bunga dan cokelat panas yang ia bawa di meja, lalu ia berjalan melihat-lihat barang yang akan dikemasi di sekitarnya. Manik matanya tertuju pada kotak bewarna biru muda. Di sana banyak barang-barang yang ia berikan beberapa tahun lalu, saat di mana ia dan Lavira begitu dekat.

Arvian mengambil kotak musik yang ia berikan kepada Lavira sebelum dirinya pergi kerja ke luar kota. Ia memesan khusus kotak musik itu yang terdapat ukiran "I Love Joya". Diputarnya kotak musik itu yang ternyata masih berfungsi dengan baik.

"Kamu masih sering memutarnya?" Arvian bertanya tanpa menoleh. Ia memejamkan matanya dan meresapi alunan musik. Sejenak menenangkan pikirannya yang kacau.

"Anda pasti tahu jawabannya."

"Kamu mau kemanakan semua ini?"

"Rencananya mau saya sumbangin ke orang yang membutuhkan tapi karena Anda di sini. Saya mau
kembalikan ke Anda saja, rasanya kurang sopan kalau saya memberikan semua barang-barang yang ada di sini ke orang lain."

"Saya sudah memberikannya ke kamu, jadi terserah mau kamu apain. Saya enggak bisa menerima semua ini kembali."

Arvian menutup kotak musik di tangannya, lalu meletakkannya kembali. Ia mengambil satu per satu barang di kotak itu untuk dilihatnya. Semua barang di situ memiliki kenangan sangat berarti untuk Arvian.

"Terima kasih, tapi saya enggak membutuhkan semua barang ini. Saya pikir selama ini saya matre. Saya kira selama ini saya begitu bahagia bisa menggunakan barang-barang mewah, tapi ternyata saya enggak menikmati apa yang saya miliki karena semua ini pemberian. Terlebih semua ini pemberian dari Anda."

Arvian tersnyum mendapati bingkai foto yang terdapat potret dirimya bersama Lavira. Ia langsung berdiri dan berbalik.

"Kalau kamu mau mengembalikan apa yang saya berikan ke kamu jangan cuma setengahnya, bisa enggak semua kamu kembalikan ke saya."

"Ya, semua barang pemberian dari Anda pasti saya kembalikan tanpa ada yang tertinggal."

"Bukan, ada yang lebih penting dari itu. Bisa enggak kamu mengembalikan waktu yang telah saya habiskan buat kamu? Bisa enggak kamu kembalikan kasih sayang yang saya berikan ke kamu?"

"Ar-vi-an," geramnya dengan tatapan tajam, "seharusnya aku yang ngomong gitu, Ian. Bisa enggak kamu kembalikan masa mudaku yang berharga, yang kuhabiskan hanya untuk mencintaimu?"

"Mencintaiku? Kamu enggak pernah mencintaiku." Arvian mengingat kembali semua kenangannya bersama Lavira. Saat ia mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai Lavira, perempuan itu hanya tersenyum dan mengatakan terima kasih. Tidak pernah ada kata balasan cinta dari Lavira untuknya.

"Orang buta juga bisa tahu dari perlakuanku ke kamu kalau aku dulu sangat mencintaimu. Saking besarnya cintaku ke kamu, aku enggak bisa membenci kamu sedikitpun Ian setelah apa yang kamu perbuat padaku." Lavira berjalan mendekat ke arah Arvian, ia berbisik, "bukan aku yang tidak pernah mencintaimu, tapi kamu sendiri kan yang tidak mau menerima kenyataan kalau aku mencintaimu karena kamu tidak pernah mencintaiku. Semuanya yang ada dirimu itu palsu."

Figura yang digenggam Arvian terjatuh ke lantai, sehingga menimbulkan bunyi pecahan kaca.

"Jadi selama ini, aku ini salah atau bodoh," lirih Arvian memegangi dadanya yang terasa sesak.

'Dia enggak pernah cinta sama lo, Ian. Yang dia cintai Arven, bukan lo.' Kalimat itu terus berdengung di telinganya, sesekali hadir di mimpinya. Pernyataan cinta Arven ke Lavira yang ia saksikan juga sering menghantuinya, kini terbayang-bayang kembali.

'Vira, kembalilah bersamaku. Kita bisa jelasin ke Arvian baik-baik. Dia pasti mengerti.'

Tbc...

Udah paham, udah ada bayangan?

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang