4

2.9K 518 23
                                    

Perkataan Lavira mengingatkan Arven pada peristiwa empat tahun yang lalu. Ia dulu meyakini kalau pria yang dicintai Lavira adalah dirinya. Namun, semua itu salah. Dulu, ia terus menafsirkan semua yang dilakukan Lavira adalah bentuk rasa cintanya kepada dirinya.

Kata-kata yang menyakiti hatinya terus terngiang.

'Maaf, Kak. Sebenarnya aku tidak pernah mencintaimu. Tolong lupakan aku dan semua yang pernah terjadi di antara kita.'

Kala itu Lavira memandang Arven dengan tatapan sedih. Ia terus memohon agar lelaki itu tidak pernah membicarakan apa pun mengenai hubungan mereka di masa lalu. Tentu saja tanpa diminta Arven akan terus memendam kenangan manis saat mereka masih bersama. Namun, ia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan mereka.

Arvian berdeham yang membuat Arven kembali tersadar.

"Aduh ... kita malah jadi keasyikan ngobrol di sini. Padahal Lavira mau beli hak tinggi, Arven juga mau beli dasi," ujar Arvian mengalihkan topik pembicaraan.

"Emhhh ... maaf, aku sebenarnya ada janji sama temen. Kalian jalan berdua aja," pamit Arven dengan nada sesantai.

"Lho lo kok ninggalin gue? Kita kan udah lama enggak jalan bareng."

"Biarin aja Tuan Muda Arven ketemuan sama temennya. Kan, kalau jalan sama Bos bisa kapan aja. Lagian kalian tinggal serumah juga."

"Bener yang dikatakan Vira. Udah lo jalan-jalan sama Vira aja." Arven langsung melambaikan tangan dan berbalik arah.

Arvian hanya diam, tak membalas ucapan kakaknya. Ia melirik kesal ke arah Lavira.

"Kenapa?" tanya Lavira yang mendapati raut wajah bosnya yang tampak kesal.

"Kenapa?" Arvian menghela napas sejenak, "kamu itu yang kenapa?"

"Maksudnya?"

"Kamu adalah masalah apa sama Arven? Kelihatan banget kalau kamu enggak suka sama Arven."

"Bukan gitu. Saya cuma canggung aja," aku Lavira dengan memalingkan wajahnya dari Arvian, "kan kita udah lama enggak ketemu."

Lavira menunduk. Ia memejamkan matanya sejenak.

"Ngapain canggung. Orang kalau ketemu sama orang lain canggung itu ada dua kemungkinan. Satu ada masalah, yang kedua ada rasa. Kalau gitu, kamu suka sama Arven?"

Lavira terkekeh. Ia menertawakan dirinya yang tak bisa jujur mengenai kenapa dirinya merasa tak nyaman bertemu dengan Arven. Tidak mungkin ia mengatakan kepada sang bos, kalau dulu dirinya menolak kakak lelaki itu dan menamparnya sebagai tanda perpisahan mereka.

Waktu itu Arven mencium Lavira tapi ia tak membalas ciuman itu atau menolaknya, dirinya hanya diam dan terus menitikkan air mata. Setelah itu, Lavira mencoba menjelaskan ke Arven kalau ia tak pernah mencintainya. Namun, Arven terus mendesaknya untuk mengatakan kalau semua itu bohong dan refleks Lavira menampar Arven.

"Semenjak saya bekerja dengan Bos, saya enggak pernah menemukan pria yang menarik. Enggak ada pria yang lebih baik dari Anda. Bagaimana saya bisa melihat ke arah pria lain, kalau yang seperti Anda tidak bisa memenangkan hati saya."

Arvian melepaskan jaketnya, lalu ia kenakan di bahu Lavira.

"Setiap orang pasti punya kriteria dalam mencari pasangan. Tapi, kadang cinta itu tumbuh kepada orang yang malah enggak sesuai dengan kriteria yang dicari. Well, siapa tahu kalau ternyata kamu jatuh cinta sama kakak saya? Bisa saja kamu enggak sadar."

"Yah ... enggak semua wanita yang canggung ketemu pria itu lagi jatuh cinta. Wajar kalau lama enggak ketemu jadi canggung. Waktu saya ketemu Bos lagi setelah dua tahun enggak ketemu juga canggung. Bos juga cangung, kok. Apa kita saling mencintai? Enggak, kan?"

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang