5

2.9K 497 100
                                    

"Ya, dulu saya pikir gitu. Saya kira, saya mengenal Anda dengan baik. Nyatanya enggak sama sekali." Lavira tersenyum. Ia menatap Arvian intens, "saya bisa melihat Anda dengan jelas seperti ini, tapi tetap saja saya enggak bisa lihat apa-apa."

"Maksudnya?"

"Jujur kita memang dekat tapi tidak pernah melekat. Jadi, saya enggak tahu apa isi pikiran Anda yang sebenarnya. Ketika Anda melakukan sesuatu pun saya enggak ngerti, kenapa Anda ngelakuin itu. Saya cuma mencoba memahami dan memaklumi perilaku Anda selama ini tanpa tahu maksud yang sebenarnya."

Lavira mengatakan apa adanya. Banyak hal yang ia tak mengerti mengenai Arvian. Lelaki itu memang mudah berkomunikasi dengan orang lain dibandingkan Arven, tapi banyak hal yang disembunyikannya. Arvian tipikal orang yang selalu melakukan sesuatu dengan tindakan daripada bicara, tapi sayangnya semua perilakunya tidak mudah ditafsirkan. Ia memang sengaja membuat semuanya menjadi bias.

Arvian menuang wine dan meneguknya dalam sekali tegukan. Ia memandang ke arah jendela yang tirainya tersibak. Ditatapnya jalanan malam yang tampak ramai meski sudah larut malam.

"Maaf."

Lavira terkekeh, "Anda suka minta maaf tapi ucapan permintaan maaf Anda juga enggak jelas untuk apa."

Arvian mengambil gelas milik Lavira, lalu menuangkan wine, "Saya sering ngelakuin banyak kesalahan ke kamu. Jadi, wajar saya minta maaf." Arvian menyodorkan segelas wine itu kepada Lavira.

Lavira mengambil segelas wine itu, lalu meminumnya sedikit.

"Daripada Anda minta maaf yang enggak ada gunanya. Lebih baik Anda segera menikah itu sangat membantu saya."

"Saya pernah berjanji hanya akan menikah dengan seseorang dan kalau tidak bisa, maka saya tidak akan pernah menikah."

"Romantis. Pantas banyak wanita yang tergila-gila dengan Anda. Mulut Anda seperti madu."

Lavira meneguk wine sampai di gelasnya tandas, lalu ia menuang lagi dan kembali meminumnya.

"Lav, daripada kamu memikirkan pernikahan saya. Lebih baik kamu cari pasangan untuk dirimu sendiri. Kontrol emosimu sebaik mungkin, jangan mudah meluap karena pria lebih suka perempuan yang enggak emosian."

Lavira tertawa dengan raut wajah masam. Pipinya sudah memerah, manik matanya sayu.

"Apa?" Lavira kembali terkekeh, lalu hendak mengambil botol wine yang langsung dijauhkan oleh Arvian.

"Jangan minum lagi. Kamu udah mabuk."

Arvian berdiri dari kursinya. Ia mengulurkan tangannya untuk mengantar perempuan itu kembali ke kamarnya.

"Aku enggak mabuk. Kamu yang mabuk, makanya nyuruh aku cari pasangan. Mana bisa, Ian."

Arvian tak menjawab perkataan Lavira. Ia malah berusaha menggendong perempuan itu ke kamarnya untuk beristirahat.

"Ian, bagaimana aku bisa menikah? Bermimpi pun enggak berani. Aku takut kalau aku ditinggalkan lagi." Lavira menggenggam erat kemeja Arvian.

Arvian hanya diam. Ia tak sanggup menanggapi ucapan Lavira. Ia takut salah ucap yang hanya akan menambah luka Lavira.

"Lav, aku turunin bentar buat buka pintu."

Lavira menggeleng, "Enggak mau. Aku  aja yang buka."

Lavira membuka pintu kamarnya yang masih berada di gendongan Arvian.

Begitu memasuki kamar Lavira, Arvian segera merebahkan perempuan itu.

"Aku pamit pulang, ya. Good night," kata Arvian seraya merapikan selimut.

Pardon Me, Boss!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang