PROLOG

194 8 1
                                    

Dinginnya angin malam membuat aku memeluk diri seerat mungkin. Kakiku menggigil, tapi tak ingin beranjak juga. Semilir ombak menjadi tontonanku sejak tadi, benderangnya bulan menerangi malam. Pasir yang seakan membeku tidak ragu menjadi alas dudukku semenjak senja tidur dari hari lelahnya. Bahkan burung-burung tidak segan menemaniku di kesepian ini.

Air bergantian membasahi daratan, datang lalu pergi. Hembusan angin terkadang menembus kulitku. Menusuk tanpa ragu, tapi aku suka. Aku selalu menikmatinya, memejamkan mata sembari memeluk tubuh merasakan kehangatan.

Ini malam Jumat. Aku tidak peduli dengan kata-kata orang di mana banyak makluk lain berkeliaran. Karena peduliku hanya kepada pantai. Peduliku untuk menunggu di pantai ini.

Suara air yang beradu begitu enak terdengar di telinga. Mereka seperti menciptakan sebuah instrumen baru yang memanjakan telinga. Aku tidak pernah puas untuk mendengarnya, selalu ingin dan ingin. Bagiku, pantai adalah komposer yang hebat. Sekali lagi, aku menikmatinya.

Aku menyukai pantai, karena pantai adalah teman yang baik. Selalu ada ketika dikala duka maupun suka. Tidak pernah mengeluh jika aku berulang kali mendatanginya. Tidak pernah bosan ketika aku menceritakan hal yang sama. Tidak pernah lelah ketika aku memaksanya untuk mendengarkanku.

Pantai, tempat yang indah untuk mengukir cerita. Pantai adalah latar yang cocok untuk menuliskan kisah dan merupakan sutradara terbaik. Membuatkanku bermacam adegan yang tidak akan pernah kuhapus dari ingatan. Memberikanku skenario terindah yang akan selalu kukenang.

Angin membawa awan menutupi bulan. Aku tahu sekarang sudah semakin larut, tapi aku tidak peduli. Alunan air yang semakin hebat memintaku untuk tetap di sini. Rayuan pohon kelapa tidak mengizinkanku beranjak.

Mataku sudah semakin berat, namun pantai membuatnya terbelak kaget. Kamu datang, dengan senyum yang selalu kutunggu-tunggu.

"Kok lama?" tanyaku yang sebenarnya kesal karena menunggumu sejak sore.

Kamu duduk di sebelahku, sekali lagi memberi senyum. Oh pantai, bisakah kamu menjadi saksi aku mencium gadis ini sekali saja? Dia begitu manis.

"Biasa," jawabnya santai.

Kedua bola mataku menatapnya. Bukan hanya senyumnya, matanya pun sangat manis. Entah mengapa aku bisa beranggapan begitu. Dia memang manis. Mungkin Mamanya dulu mengidam gula saat mengandungnya, makanya bisa semanis ini.

Aku merebahkan badan di pasir yang dingin. Meskipun dingin, bagiku cukup ada kamu saja ini sudah terasa hangat. Biarlah aku dicap banyak gombal, tapi hatiku memang mengatakan yang sebenarnya.

Cahaya bulan yang semakin tipis menyinari wajahnya. Kami bertatapan, kemudian ia tertawa padahal tidak ada yang lucu.

"Kenapa?"

Lalu dia mengikutiku, menjatuhkan punggung ke atas pasir. "Tidak ada alasan, ingin tertawa saja."

Menikmati indahnya hari Kamis di pantai bersamanya begitu manis. Meski menurutku masih lebih manis senyumnya itu. Terima kasih, pantai. Kau telah menyediakan tempat untukku dan dia.

***





Terima kasih sudah membaca.  Jangan segan memberikan kritik serta saran di cerita baru ini. Tak lupa pula berharap vote dari kalian.

By the way, cerita aku yang berjudul "Hari Jumat" akan segera terbit bersama Raden Pustaka. Nantikan Pre-Order-nya di instagram aku instagram.com/tasya.ls


SAMUDRAWhere stories live. Discover now