[ Samudra ]
Kemarin Aliyah tidak masuk sekolah. Aku sama sekali tidak melihatnya duduk di kelas. Aku khawatir, apalagi dua hari yang lalu kami bermain air. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
Namun, hari ini ia sudah masuk sekolah. Hatiku sedikit lega karena gadis itu hanya sehari saja tidak hadir. Kalau begini rasa khawatirku tidak akan menggebu-gebu. Saat istirahat, aku memberanikan diri mendatanginya dan menanyakan mengapa ia tidak sekolah kemarin.
"Lo kemarin sakit, ya?" Aku yang baru saja menginjakkan kaki di kelas 3 IPA 1 langsung memegangi jidat Aliyah. Tidak panas, berarti sudah benar-benar sehat.
Ia tampak kaget. Aku ini sudah seperti setan yang tiba-tiba muncul. Karena tidak enak melihatnya yang kaget, aku menjauhkan tanganku dari keningnya. Mungkin membuatnya tidak nyaman dengan perlakuanku.
"Ngapain lo ke sini? Pake pegang-pegang jidat Aliyah lagi," protes Defina duduk di samping kiri Aliyah.
Defina ini sahabat Aliyah yang bawel banget. Aku tidak benci padanya, tapi dirinya ini menghalangiku untuk menggapai Aliyah. Aku tidak habis pikir kenapa Sandi bisa suka sama perempuan yang banyak protes ini.
"Kenapa? Mau dipegang juga?"
Mukanya langsung memerah. Bukan karena kugoda, tapi ia marah.
Aliyah menenangkannya meski sambil tertawa pelan. Dia sungguh manis. Dengan sedikit rayuan, cewek yang duduk di sebelah Aliyah itu pun pergi keluar. Tidak lupa ia memberi tatapan kepadaku yang mengartikan jika sahabatnya terluka, aku akan lebih terluka.
Baiklah, lupakan sahabatnya itu. Aku pun duduk di bangku kosong di sebelah Aliyah, tepatnya bangku Defina tadi. Bangku ini terasa panas, mungkin kemarahannya mengalir hingga memanaskan bangku yang ia duduki. Dasar setan sekolah.
Aku tersenyum kaku. "Sakit, ya?"
Aliyah menggeleng. "Aku cuma sedikit pusing." Tangannya membereskan alat tulis yang berserakan di meja.
Pusing itu sakit, sayang.
Gadis ini tampaknya sosok yang kuat. Ia tidak mengatakan dirinya sakit, hanya pusing. Kalau tidak sakit, harusnya ia masuk sekolah kemarin. Berarti, ia sakit. Pusing itu sakit. Sekarang kepalaku yang pusing.
"Nanti kamu ke pantai?" tanyanya.
Kepalaku mengangguk semangat. Beberapa saat kemudian, aku teringat sesuatu. "Lo mau ke rumah gue enggak? Sehabis dari pantai sih, kita sebentar aja di pantai."
Ia tampak berpikir. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Percayalah, Aliyah tampak manis walau hanya sedang berpikir. Tiga detik kemudian, ia mengangguk. Tanda bahwa ia setuju untuk berkunjung. Aku tidak hanya akan mengajaknya ke rumah saja. Namun, aku berencana untuk membawanya bermain bersama anak-anak yang alhamdulillah belum terkena asupan micin.
Tidak lupa aku akan mengajaknya menikmati cilok andalan di gang rumahku nanti. Cilok paling enak di kota ini. Cilok yang jadi primadona, idola anak muda dan ibu muda, cilok yang pemasoknya adalah Bunda.
"Kalau gitu, gue balik ya. Nanti gue tunggu di pos satpam." Aku pamitan, sebentar lagi bel masuk.
Aliyah mengiyakan dan memberi lambaian tangan. Padahal aku juga belum bangkit dari tempat duduk. Aku suka dia begitu.
Aku pun beranjak dari tempat duduk. Lalu melenggang meninggalkan Aliyah yang masih memperhatikan sembari tersenyum. Ia begitu manis. Bagaimana bisa aku meninggalkan gadis manis itu? Kalau saja kami sekelas, bisa-bisa aku jadi lebih berprestasi karena ada penyemangat seperti Aliyah.
YOU ARE READING
SAMUDRA
Teen FictionPantai adalah tempat terbaik mengukir cerita bersamanya. Itulah pikir Samudra. Laki-laki yang begitu menyukai pantai hingga ia menemukan "pantai" tempatnya untuk mencintai, yakni Aliyah. Dari segala kejadian, nampaknya hal yang tak menyenangkan mem...