[ Samudra ]
Kantin begitu padat dan pengap. Manusia-manusia di sekolah ini tampaknya tidak sarapan pagi tadi. Makanya yang biasanya kantin saat istirahat pertama tidak begitu ramai menjadi sangat ramai. Hal ini membuatku gerah. Bermacam-macam bau badan bercampur padu di satu tempat. Rasanya tidak enak menelan jus dingin di sini. Baunya seakan tertelan bersama rasa asam manis jus jeruk.
Samuel yang duduk di depanku menggerutu sedari tadi. Ia tidak bisa makan batagor dengan tenang. Ditambah penciumannya yang terganggu. Wajahnya menunjukkan antara ingin muntah atau sayang dengan makanannya.
"Sam!"
Aku dan Samuel menoleh ke asal suara. Itu Sandi, ia mendatangi kami sambil membawa buku. Kutu buku yang satu ini, pacarnya memang selalu dibawa ke mana-mana.
Saat ia duduk, aku menjitaknya pelan. "Lo itu manggil gue atau dia sih?" Aku menunjuk Samuel yang menikmati batagornya dengan hidung yang ditutup.
"Dua-duanya, lah," jawab Sandi.
"Spesial dikit kek kalau manggil gue."
Entah ini takdir atau bukan, nama panggilan singkatku dengan Samuel itu sama. Entah ini takdir atau bukan, kami bersahabat. Jadi ketika bersama, kalau dipanggil kami berdua akan menoleh. Padahal terkadang hanya salah satu yang dipanggil.
Entah ini takdir atau bukan, aku, Samuel, dan Sandi memiliki nama dengan huruf depan yang sama. Entah ini takdir atau bukan, kami sekelas. Entah ini takdir atau bukan, kami hampir sering satu kelompok jikalau guru membuat kelompok sesuai absensi.
Entah ini takdir atau bukan, aku dipersatukan dengan dua orang aneh ini.
"Masa gue manggil lo sayang, ntar jijik dong," ucap Sandi. Ucapannya itu membuat Samuel tersedak, ia menguping ternyata.
Sekali lagi, aku menjitak Sandi. Kali ini sedikit kuat. Ia meringis kesakitan, padahal aku tahu kalau kepalanya itu terbuat dari batu. Jadi kalau dijitak, tangan si penjitak lah yang sakit. Namun, aku tetap stay cool, pura-pura kuat padahal tangan sudah mendenyut.
"Eh, Sam." Samuel melirikku. Ia sudah selesai menyatap batagornya. Meski aku tahu kalau dia belum kenyang.
Aku memasang telinga untuk mendengarkannya. Sandi ikut-ikutan.
"Gue denger lo jalan sama anak pejabat Minggu lalu."
Keningku berkerut. "Siapa?"
Sejarahnya, aku tidak pernah bergaul dengan anak pejabat. Berteman sama kedua anak ini saja sudah syukur, apa lagi dengan anak pejabat. Sahabatku ini memang penikmat berita hoax, penyuka gosip tentang orang ganteng seperti diriku.
"Enggak usah berlagak bodoh wahai Samudra Hindia." Sandi menyambung.
Samuel menyedot es tehnya yang tinggal dikit, kemudian mengambil jeda sebentar. "Yang lo antar pulang ke rumahnya. Kalau enggak salah dia bawa kucing."
"Asik lah. Udah anak pejabat, pecinta kucing lagi. Sayang pasti sama lo," kata Sandi menggoda sambil menaik turunkan alisnya.
"Aliyah?" tanyaku.
"Iya!" jawab keduanya kompak.
Jadi, Aliyah anak pejabat. Pantas saja rumahnya besar. Belum lagi sifatnya yang begitu lemah lembut. Pasti sudah diajarkan orang tuanya yang wakil rakyat itu untuk bertingkah laku baik. Namun, aku sedikit ciut ketika tahu kalau gadis itu anak pejabat. Bagaimana bisa aku menembus hati orang tuanya yang pejabat itu?
![](https://img.wattpad.com/cover/195149204-288-k9755.jpg)
YOU ARE READING
SAMUDRA
Teen FictionPantai adalah tempat terbaik mengukir cerita bersamanya. Itulah pikir Samudra. Laki-laki yang begitu menyukai pantai hingga ia menemukan "pantai" tempatnya untuk mencintai, yakni Aliyah. Dari segala kejadian, nampaknya hal yang tak menyenangkan mem...