SATU

77 2 0
                                    

[ Samudra ]

Suara ribut-ribut membangunkanku yang tengah asyik memimpikan Ariana Grande menerima pinanganku. Padahal sedikit lagi cincin emas masuk ke jari manisnya. Namun, keributan membuatku harus merelakan mimpi indah bersama pujaan hati.

Dengan malas aku bangkit dari tidur yang sudah menghasilkan mimpi tadi. Sebelumnya, kubersihkan pasir yang melekat di tangan, kaki, dan seragamku. Barulah aku menghampiri kerumunan yang membuat keributan hingga melenyapkan mimpiku.

Bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, yang tua, yang muda, berbadan tegap, dan berbadan mungil, pokoknya yang ada di pantai ini membentuk lingkaran tidak sempurna. Mengerumuni satu orang yang kuanggap sedang sial, karena bisa dibilang ini kondisi yang tidak mengenakkan.

Karena rasa penasaran dan tidak ingin menerobos orang-orang, aku menepuk punggung salah seorang Ibu yang berada di bagian terluar. Menepuk pelan saja, biar sopan.

"Ada apa, bu?"

Ia tampak kaget karena sedang serius awalnya. Sambil mengelus-elus dada, ia pun menjelaskan, "Itu ada orang bawa kucing. Eh, kucingnya malah makan makanan anak si Bapak itu."

Aku mengangguk tanda mengerti. Sungguh malang nasib si kucing dan pemiliknya. Apalagi saat melihat muka si Bapak yang sangar, aku semakin iba. Harusnya Bapak itu membicarakan dengan baik-baik, setidaknya meminta ganti rugi. Kucing juga makhluk hidup yang butuh makan. Tidak perlu membuat keributan dengan memarahi si pemilik kucing yang sampai saat ini belum kulihat juga muka memelasnya.

"Makanya jangan bawa kucing."

Bapak tersebut tidak kunjung selesai marah-marahnya. Aku bertanya-tanya, apa ia tidak capek? Kasihan pita suaranya, apalagi kalau ia adalah seorang penyanyi, suaranya bias rusak. Bagaimana nanti ia akan menafkahi anak-anak dan istrinya? Bapak yang malang.

Kemarahan si Bapak disambut lemah si korban. "Maaf, Pak. Saya akan ganti rugi. Pasti." Suaranya lemah, sangat lemah. Lemas dimarahi begitu, apalagi ia seorang perempuan.

Ya, perempuan. Tidak mungkin itu suara banci yang nyasar, jelas sekali itu suara perempuan. Aku akhirnya dapat melihat wajahnya, sudah pucat karena ketakutan. Badannnya seukuran anak SMA pada umumnya, rambutnya hitam pekat diikat seperti ekor kuda. Dengan celana selutut yang ia gunakan, terlihat kulitnya yang putih bersih terawat.

Rasa kasihanku semakin memuncak, tidak habis pikir dengan si Bapak yang tidak habis-habisnya marah. Ditambah orang-orang sekitar yang hanya menonton, tidak mau menghentikan teater gratis ini.

Diakibatkan rasa kasihan serta kesal kepada keributan yang mengganggu ketenangan air pantai, aku pun menerobos kerumunan. Kulihat gadis dengan rambut digerai sambil menggendong kucingnya yang berbulu tebal tengah menunduk. Si Bapak menunjuk-nunjuk gadis itu, antara menambah marah atau menasihatinya.

"Udah, Pak. Udah," kataku menenangkan bapak tersebut.

Matanya menatapku sinis, cukup menyeramkan. Namun, aku tidak runtuh begitu saja, kutarik dirinya yang cukup berat menjauhi si gadis dan membuatnya bingung dengan perlakuanku.

"Udah, Pak. Enggak perlu diperpanjang lagi. Bapak maafkan saja dia." Tubuh si Bapak tegang, ia masih menatapku dengan begitu dingin, berusaha membuat menyerah tampaknya. "Dia kan sudah janji mau ganti, Pak."

Aku berusaha meyakinkannya. Cukup lama ia diam, bergantian menatap tajam ke arahku dan gadis malang yang masih menunduk. Sampai akhirnya ia pun menghempaskan kata, "Iya, saya maafkan. Lain kali jangan begitu."

***


[ Aliyah ]

Hari Kamis sudah tiba. Sepulang dari sekolah, aku langsung berganti pakaian untuk bersiap-siap. Seperti biasa, aku akan ke pantai menikmati indahnya air biru dan ombak yang mengalun.

Di Kamis ini, aku akan membawa Wawa ke pantai. Ia akan menemaniku merasakan dinginnya angin pantai. Wawa bukanlah teman sekolah, ia seekor kucing. Kucing Persia yang memiliki bulu tebal yang membuatnya begitu menggemaskan. Mata cokelatnya menambah kesan lucu di wajahnya, belum lagi tingkah lakunya yang selalu menghibur.

Aku memberikan namanya Wawa karena aku suka air dan ombak. Wawa adalah gabungan dari kata water dan wave. Nama itu sudah terpikirkan sebelum Wawa ada. Sejak kematian kucingku yang tanpa nama, aku selalu berhayal perihal kucing baru. Saat memasuki tahun pertama di SMA, Papa mengadopsi seekor kucing imut yang masih berumur 2 bulan, yakni Wawa.

Senja akan muncul sebentar lagi, ini pemandangan yang bagus. Rumahku tidak terlalu jauh dari pantai, maka hanya dengan berjalan kaki saja aku bisa cepat sampai ke sana. Melihat senja yang semakin menarik, aku mempercepat langkah.

Pantai begitu ramai, tidak seperti biasanya. Mungkin karena cuaca sedang bagus, makanya banyak keluarga maupun pasangan yang menghabiskan sore di pantai yang tidak jauh dari pusat kota ini.

Tidak seperti orang kebanyakan yang menggelar tikar untuk alas, aku tidak menggunakan apa-apa. Pasirnya bersih, jadi tidak ragu untukku mendudukinya. Memang selalu bersih, makanya setiap ke pantai aku tidak pernah membawa tikar atau apapun untuk melapisi pasir. Ke pantai itu harus benar-benar menikmatinya. Jadi, dengan duduk langsung di pasir adalah salah satu cara menikmatinya.

Sembari melihat ombak yang bergulung dari yang besar hingga kecil, aku mengelus bulu Wawa. Ia tampak tidak tenang, jadi mengelus adalah cara untuk membuatnya tidak gelisah. Aku tidak tahu apa maunya, hingga tubuhnya lolos dari tanganku. Larinya begitu cepat.

Aku terbelak kaget, Wawa mendekati seorang anak yang tengah asik membelah rotinya di atas piring. Anak itu nampak kaget ketika ada seekor kucing di depannya. Namun, bukannya memberi kesan menggemaskan, Wawa malah menarik dan menjilat-jilat roti milik anak tadi.

"Kucing siapa ini?!"

Seorang pria berbadan tegap yang kupastikan adalah bapak si anak itu berteriak diiringi tangisan anak tersebut yang makanannya dicuri. Dengan tergesa-gesa, aku menghampiri mereka. Kugendong Wawa dengan paksa meski ia sedang menikmati roti isi hasil curian yang tidak pantas ia makan. Padahal ia sudah kuberi makan tadi.

"Oh, ini kucing kamu?" tanyanya dengan nada tidak senang.

Mata si bapak melotot ke arahku. Istrinya memegangi lengannya berusaha menenangkan, sedangkan anaknya masih menangis. Orang-orang dari sisi pantai menghampiri tempat kejadian. Kami menjadi tontonan gratis, aku menunduk.

Orang-orang meracau memperhatikan kami. Bapak itu marah-marah kepadaku. Tanganku mendingin, mungkin sekarang mukaku sudah seperti pakai bedak yang begitu tebal. Putih pucat karena ketakutan, aku begitu takut dengan Bapak ini. Ia menyeramkan.

"Maaf, Pak. Saya akan ganti rugi. Pasti."

Aku berusaha meminta maaf, tapi si Bapak tidak juga luluh. Padahal suaraku sudah melemah, aku lemas jika diperlakukan seperti ini. Kupeluk Wawa untuk menguatkan, sekaligus menghilangkan rasa takut.

Aku mendongak ketika seorang laki-laki berseragam sekolah memecah kerumunan. Ia meminta si Bapak menyudahi ini. Aku sedikit lega ketika ia menarik Bapak tersebut untuk menjauh. Aku kembali menunduk, dari ekor mataku dapat kulihat ia berusaha menenangkan dan meyakinkannya atas apa yang kukatakan.

Kakiku bergetar, bahkan Wawa menyembunyikan dirinya dalam pelukanku. Sungguh, aku tidak bisa dimarahi seperti ini. Ditambah mata lelaki paruh baya itu yang begitu tajam. Ia sangat marah.

Pikirku, itu hanyalah roti isi yang banyak dijual di sekitar pantai ini. Aku pun bersedia mengganti sesuai permintaan si anak.

Berkat laki-laki yang kutebak kalau kami sebaya ini, Bapak tersebut pun memaafkan. Aku tidak perlu mengganti rugi, asal jangan sampai yang seperti ini terjadi lagi. Aku beruntung.

***






Terima kasih sudah membaca. Jangan segan untuk memberi kritik dan saran yang membangun. Tak lupa pula berharap mendapatkan vote dari para pembaca.

SAMUDRAWhere stories live. Discover now