[ Samudra ]
Kami pun beranjak dari pantai. meninggalkan pasir pantai yang mulai mendingin. Dan meninggalkan orang-orang yang masih enggan pergi karena ini jam-jam mendekati sunset atau terbenamnya matahari.
Aku sudah puas melihat itu setiap hari, jadi tidak perlu melihat lagi. Bukannya bosan, aku ingin memuaskan diri dulu dengan Aliyah. Maksud memuaskan di sini adalah menikmati waktu bersama gadis manis ini. Bukan yang aneh-aneh.
Langkah kami sama, kiri-kanan kiri-kanan.
"Lo sekolah di mana?" tanyaku.
Tangan gadis manis ini mengelus-elus tubuh kucingnya dengan lembut. Perlakuannya ini begitu menunjukkan perangainya yang lemah lembut. Tipe gadis penyayang.
Aku mau disayang, dong!
"Aku sekolah di sini." Dia menunjuk nama sekolah yang tersampir di lengan kanan seragamku.
Benarkah? Ia satu sekolah denganku. Namun, aku tidak pernah melihatnya di mana pun. Bahkan ketika maju ke podium pun tidak pernah aku melihat sosoknya di antara barisan siswa. Sepertinya dia masuk golongan siswa malu-malu yang tidak suka menunjukkan diri agar dikenal di sekolah.
Ia tersenyum. "Kamu pasti kaget. Aku juga begitu awalnya, ternyata kita satu sekolah."
"Dunia ini sempit," kataku.
"Memang sempit, makanya sekarang terasa sulit untuk bernapas."
"Maksudnya?"
Kalimat Aliyah sangat sulit untuk kucerna, bodohku terlalu dalam. Tidak ada jawaban. Aliyah menggeleng, ia tidak mau menjelaskan apa maksud perkataannya tadi. Aku penasaran. Sampai di rumah nanti, akan kucari maknanya. Kalau perlu tanya Bunda atau Kak Wawa sekalian. Mereka tahu segalanya. Walau sebenarnya tidak semua. Mereka bahkan tidak tahu di mana aku menyembunyikan puding terenak di dunia.
Tidak ada perbincangan lagi antara aku dan Aliyah. Kami menikmati perjalanan menuju rumahnya yang entah sudah berapa belokan kami lewati. Aku tidak peduli, meski nanti pulangnya tidak tahu bagaimana.
Mataku sesekali melihat tangan Aliyah yang tiada henti mengelus Wawa. Aku yang memiliki rasa selalu penasaran, mencoba ikutan. Ia agak kaget ketika aku mengelus Wawa.
"Kenapa? Enggak boleh?"
Ia tersenyum, lagi. "Boleh kok, nih."
Ia memberikan Wawa kepadaku. Kucing ini ternyata berat juga. Melihatku yang keberatan menggendong Wawa, dia tertawa. Meremehkanku.
"Kamu suka kucing?" tanya Aliyah.
Aku menggeleng. "Bukan berarti enggak suka. Cuma sedikit suka, tapi karena enggak melihara jadi keliatan enggak suka."
Kata-kataku yang seperti tidak tersusun rapi membuat Aliyah tertawa. Mulutku ini kacau sekali. Apakah ini efeknya berbicara lama-lama dengan gadis manis?
Ia pasti tidak mengerti yang aku katakan.
"Ya, paham. Sebenarnya kamu suka, cuma enggak punya kucing yang bisa disukai." Oh, ternyata ia mengerti. Pintar juga otaknya, tidak seperti diriku.
"Ini rumahku."
Kami sampai, tidak terlalu jauh sebenarnya. Sebuah perumahan dengan rumah-rumah yang memiliki ukuran sama namun warna berbeda-beda. Rumah di sini besar-besar, pasti golongan kelas atas. Belum lagi pekarangan rumah yang diisi bunga-bunga cantik yang harganya lumayan mahal. Bunda saja hanya punya satu di rumah, itu pun belinya di pasar kaget yang kebetulan lagi murah.
Aliyah sempat menawariku untuk mampir ke rumah, tetapi hari sudah memintaku pulang. Jadi, kukatakan lain kali saja. Ia pun mengangguk tanda mengerti. Kemudian masuk ke rumahnya, tidak lupa memberikan senyum perpisahan. Ah, manisnya, tidak kalah menggemaskan pula dari kucingnya.
Aku pun segera pulang ke rumah tanpa tersesat. Senyumku tidak hentinya tercantum di wajah, pikiranku tidak bisa melupakan Aliyah yang sudah masuk rumah sedari tadi. Tidak lupa aku mampir ke pantai sebentar untuk mengambil sepedaku yang tertinggal.
Sesampainya di rumah, Bunda ternyata sudah menunggu di depan pintu.
"Ini sudah magrib, kenapa baru pulang?" Bunda menatapku dari atas sampai bawah. Judge time dimulai.
"Baju kucel kek gitu. Bukannya tadi ganti baju dulu. Itu warna baju bukan putih lagi, sudah seperti warna belacan." Bunda mendesah panjang, aku berekspresi meminta pertolongan. "Masuk, mandi, terus salat."
Bunda memang tidak pernah bisa marah lebih panjang dari itu. Ia akan luntur melihatku yang diam sambil memasang muka memelas. Begitu juga Kak Wawa, ia sering menggunakan cara ini untuk tidak dimarahi Bunda terus-terusan.
Aku pun menuruti kata Bunda. Mandi dan salat, tidak lupa mencuci baju meski tidak disuruh. Setelah salat, aku menghampiri Bunda di ruang tamu yang merangkap jadi ruang keluarga. Rumah kami tidak begitu besar namun bertingkat, karena lokasinya ada di gang kecil.
Hanya ada satu ruang tamu yang menjadi ruang keluarga, tiga kamar tidur, satu dapur yang menyatu dengan ruang makan, dan satu kamar mandi. Kamar tidur ada di lantai atas, tidak ada ruang belajar.
Bunda tengah sibuk memindahkan data-data pemilih untuk pemilu yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Di sana juga ada Kak Wawa menatap televisi yang sedang menayangkan acara dangdut di mana kontestannya bernyanyi 2-3 menit, sedangkan jurinya berkomentar hingga setengah jam. Acara yang membuatku banyak menghujat.
Dengan sigap, kuambil remot yang lemah dari fokusnya. Lalu kuganti siaran menjadi acara talkshow yang lebih bermanfaat. Seketika ia mengaum. Maksudku tidak mengaum seperti singa, aku menganggapnya mengaum padahal sebenarnya merengek.
"Ih, jangan diganti. Itu udah mau dibeberkan siapa pacarnya," ujarnya.
Aku menautkan alis. "Ini acara dangdut apa gosip? Aneh banget, dah."
"Samudra, jangan ganggu kakakmu," kata Bunda. Ia masih fokus dengan lembaran kertas-kertas. Namun, pembelaannya untuk Kak Wawa masih berjalan.
Bunda selalu membela Kak Wawa karena dia perempuan. Padahal dia lebih tua, aku adiknya, mengapa aku yang harus mengalah. Harusnya dia yang mengalah. Tetapi Bunda selalu bilang, kalau laki-laki itu wajib mengalah kepada perempuan. Ketahuialah bahwa itu menjengkelkan.
"Tuh, dengar kata Bunda." Kak Wawa memeletkan lidahnya.
Karena sudah mendapat teguran Bunda, aku pun mengalah. Biarlah kali ini aku mengalah. Mengalah bukan berarti kalah. Aku akan mendapatkan pembelaan Bunda dilain waktu. Tunggu saja wahai kakakku yang tidak seberapa.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan segan untuk memberikan kritik dan saran membangun. Tidak lupa pula untuk klik bintang vote.

YOU ARE READING
SAMUDRA
Teen FictionPantai adalah tempat terbaik mengukir cerita bersamanya. Itulah pikir Samudra. Laki-laki yang begitu menyukai pantai hingga ia menemukan "pantai" tempatnya untuk mencintai, yakni Aliyah. Dari segala kejadian, nampaknya hal yang tak menyenangkan mem...