EMPAT

20 2 0
                                    

[ Aliyah ]

Pagi ini Papa sudah tidak ada di rumah. Ia bahkan tidak menyempatkan diri untuk sarapan denganku. Memberikan ucapan selamat pagi saja tidak pernah lagi. Akhir-akhir ini Papa sangat sibuk.

Ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif mewakili partainya untuk daerah kami. Makanya kesibukannya setiap hari hanya untuk mengurus kampaye demi kampaye. Meski aku lebih percaya dia mengurusi wanita "itu" sebenarnya.

Sepiring nasi goreng tersedia di meja yang aku yakin ini dibeli di luar, tidak mungkin Papa memasaknya sendiri. Ia tidak sempat untuk hal semanis itu.

Aku pun melahap nasi dengan tidak semangat. Ruang makan ini sepi, tidak ada teman untuk bercengkrama dikala sarapan. Karena begitu sepinya, telingaku hanya diisi suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Sesekali aku melamunkan kucingku yang tengah bergegas memakai seragamnya untuk menuju sekolah kucing.

Ponselku bergetar tanda sebuah pesan masuk. Dari Defina, sahabatku satu-satunya.

"UDAH MASUK! LO DIMANA, AL?!"

Kulihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Mataku terbelak kaget, kakiku gemetaran.

Gawat! Sudah jam 7 lewat.

Dengan terburu-buru kuminum susu putih hingga habis setengah gelas. Tanganku bergegas memesan ojek online melalui ponsel. Aku akan dihukum, ini bencana.

Sudah 2 menit aku di luar menunggu ojek pesanan, namun tidak kunjung datang. Semakin lama aku sampai sekolah, semakin banyak pula hukuman yang menimpaku. Peraturan sekolahku memang membuat siapapun takut untuk terlambat, termasuk aku.

Sambil menunggu, kuperiksa kelengkapan. Seragam pas, tali pinggang ada, sepatu hitam, roster lengkap, dan uang jajan juga sudah dibawa. Beres.

Akhirnya ojekku datang. Belum sempat driver-nya memastikan yang memesan, aku langsung mengambil helm yang ada di jok motornya. Tidak peduli dengan kebingungannya. Jadi ketika ia menanyakan nama pemesan, aku angguk-angguk saja.

"Ngebut, Bang. Udah telat." Aku duduk di belakangnya sambil mengeratkan tali helm.

Abang driver yang tidak kuketahui namanya itu pun mengangguk paham. Ia membawa motornya melaju dengan cepat. Kalau saja aku tidak memakai helm, mungkin rambutku sudah terbang ke mana-mana meski tidak lepas dari kepala.

Dengan cekatan, motor yang kunaiki menyalip kendaraan yang memadatkan lalu lintas. Bahkan dengan berani, abang ojeknya menerobos lampu merah yang membuatku ketakutan jika ketahuan polisi.

Belum juga 10 menit, kami sampai. Aku langsung membayar dan mengikhlaskan saja kembalian seribu kepada si abang. Karena kalau menunggu kembalian, akan semakin lama aku masuk.

Gerbang belum di tutup. Bukan hanya aku yang terlambat, syukurlah. Sepertinya hari ini memang sengaja tidak ada apel pagi. Mungkin ada seminar dari bimbingan belajar atau yang lainnya.

"Yang terlambat langsung baris! Jangan manja kali hidup kelen!"

Itu bentakan Pak Sinaga. Guru bimbingan konseling yang galaknya minta ampun. Banyak murid yang takut padanya, bahkan kalangan anak-anak nakal akan tunduk jika ia sudah membentak. Aku saja takut, belum siap disemburnya..

Aku pun masuk ke barisan. Pak Sinaga sudah berjalan menelusuri barisan, sekalian merazia yang tidak beres. Namun saat melewatiku, ia berhenti.

SAMUDRAWhere stories live. Discover now