ENAM

18 2 0
                                    

[ Samudra ]

Kakiku mengayuh pedal sepeda dengan cepat. Tidak ingin membuat Aliyah menunggu. Teriakan Bunda yang menyuruhku untuk makan dulu tidak kupenuhi. Aku sudah kenyang makan senyum Aliyah tadi.

Sepedaku melaju dengan cepat. Jalanan berliku-liku tidak membuatku berhati-hati. Meski aku yakin Aliyah belum siap, aku ingin memberi kesan kedua yang bagus untuknya. Roda sepeda berhenti tepat di depan gerbang rumahnya. Kuparkirkan sepeda di samping tembok gerbang. Aku celingak-celinguk melihat ke dalam, dari celah gerbangnya dapat dilihat pintu rumahnya tertutup.

Daripada teriak-teriak memanggil, aku pun bersabar dengan duduk di samping sepeda. Perutku bergetar layaknya mendapat notifikasi di ponsel. Aku lapar. Andai saja tadi aku menuruti kata Bunda, pasti tidak ada getaran ini. Namun, apa boleh buat semangatku mengalahkan Bunda yang teriak-teriak.

"Samudra."

Saking kuatnya suara perutku, suara gerbang dibuka saja aku tidak tahu. Aku menoleh dan bangkit. Akhirnya keluar juga Tuan Putriku. Ia tampak cantik dengan kaos longgar berwarna biru langit dipadukan dengan celana jins hitam. Aliyah begitu manis meski hanya memakai sandal jepit yang senada dengan atasannya.

"Kenapa enggak pencet bel?"

Eh?

"Belnya mana?"

"Itu." Dia menunjuk sebuah tombol tepat di tembok di mana aku memarkirkan sepedaku.

Aku malu. Jadi dengan canggung aku senyum sambil menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Kesan pertama yang tidak begitu baik. Baiklah, ini masih pemanasan.

Aliyah tertawa. Iya, menertawakanku seperti hari Kamis yang lalu. Aku tidak kesal. aku suka ia tertawa. Aku ingin ia tertawa lagi untukku, tapi tidak terkabulkan karena ia langsung menutup gerbang yang membuat wajahnya tidak dapat kulihat untuk beberapa detik.

Dengan semangat aku menaiki sepeda yang sengaja aku pasang tempat duduk di belakang. Selama ini, yang menduduki besi ini hanyalah Samuel atau Sandi ketika kendaraan mereka rusak. Untuk pertama kalinya, seorang gadis yang kusuka menduduki tempat duduk apa adanya milikku ini.

"Siap?" Aku bertanya ketika Aliyah sudah duduk di singgasananya.

Ia mengangguk. Tidak lupa sembari tersenyum.

Aku pun mengayuh sepeda. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Biasa-biasa saja, menikmati momen di atas sepeda berdua dengan orang yang kusuka.

"Kamu kenapa belum ganti baju?"

Oh, tidak. Sekali lagi aku memberi kesan tidak baik. Bodohnya aku tidak ganti baju dulu tadi. Jadi aku jawab dengan sejujur-jujurnya.

"Males ah, lagian nanti gue kok yang cuci nih baju." Dari ekor mata, kulihat ia sedikit mengangguk. "Wawa kenapa nggak dibawa?" tanyaku.

Kasihan kucing manis itu. Pasti ia sendirian di rumah, tidak bisa menikmati senyum Aliyah yang manis ini. Rasakan itu wahai kucing bebulu lebat.

Aliyah memegang pundakku dan berteriak karena kami melewati jalan yang menurun. Aku deg-degan sekaligus tersenyum bahagia. Percayalah, ini pertama kalinya seorang Samudra deg-degan di dekat perempuan. Apalagi mengetahui kalau Aliyah sedang bahagia karenaku, meski hanya karena hal sekecil melewati jalan menurun dengan sepeda.

Sampai di jalan yang datar, barulah Aliyah menjawab pertanyaanku tadi. "Aku enggak setiap ke pantai bawa dia. Lagian aku trauma membawanya."

SAMUDRAWhere stories live. Discover now