Alta Cicilia Nadzari
"Hah?"
Bingung Alta sambil menurunkan kedua sisi headphone nya.
"Boleh minta nomor teleponnya?" Ulang siswa dengan baju urakan itu sambil terus menyodorkan handphone nya kepada Alta.
Dahi Alta mengerut, Ia tidak suka hal ini. Bagaimana bisa ada siswa asing yang tidak Ia kenal sama sekali dengan beraninya meminta nomornya? Itu aneh!
Dan Alta langsung menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, "Enggak!"
"Kenapa enggak?" Tanya siswa itu tetap teguh pendirian. Tidak peduli Alta ilfeel sedikit pun kepadanya.
Alta hanya terdiam tidak membalas, Ia mencoba menghiraukan pertanyaan siswa itu. Alta kembali bersandar ke dinding, namun matanya tetap menyipit ketika memperhatikan gerak-gerik si siswa.
Siswa itu pun menghela nafas lalu menggaruk-garuk kepalanya yang Alta yakini tidak gatal. Layar handphone milik siswa itu mati, namun ternyata semangat pemilik nya tidak ikut mati untuk meminta nomornya.
"Kalo gitu, ID line nya boleh?"
Itu lebih parah! Batin Alta. Ia mengubah tatapan curiga nya menjadi tatapan tajam ke arah siswa urakan yang duduk tepat disampingnya.
"Enggak boleh!" Balas Alta sambil menggelengkan kepalanya kembali.
"Loh, kenapa gak boleh?" Tanya siswa itu lagi.
Suara lagunya terdengar cukup keras di telinga Alta, padahal headphone itu sudah tersampir di lehernya. Ia mengamati seisi kelas yang ternyata semuanya diam, menyimak pembicaraan yang dilakukan Alta dengan siswa yang tidak Alta kenal itu.
Oh tidak, aku... jadi pusat perhatian! Rutuk Alta sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Tangannya terkepal. Ia sangat risih ketika harus menjadi pusat perhatian seperti sekarang.
"Pokoknya gak boleh," Jawab Alta yang kini menatap siswa itu dengan ekspresi wajah datar.
"Iya, gak boleh. Tapi ada alasannya kan?" Bujuk rayu siswa itu yang semakin membuat Alta risih.
Alta memberi isyarat 'sebentar' pada siswa itu. Ia menyalakan handphone nya dan mencari playlist musik lalu menghentikan nya. Suara yang keluar dari headphone pun berhenti.
Kelas menjadi lebih hening. Karena mereka para murid kelas ini yang baru sadar bahwa semuanya menguping, mereka akhirnya mulai kembali berisik. Walaupun ada beberapa yang tetap menyimak pembicaraan Alta dan murid asing.
Itu adalah hal yang paling jarang sekali terjadi ketika kelas mereka benar-benar hening seperti tadi.
Alta kembali menatap mata siswa itu, kali ini dengan lebih tenang. "Alasannya? Gak kenal,"
Siswa itu dengan semangat mengganti sodoran handphone nya menjadi telapak tangan kanan yang kosong, "Karena itu, kita kenalan dulu. Nama saya-"
"Gak mau, aku juga gak mau kenalan sama kamu." Potong Alta cepat sambil mendorong pelan tangan siswa itu. Dirinya bersedekap, tanda kesalnya Alta.
Siswa itu terpaksa menurunkan tangannya yang tidak dibalas salam oleh Alta. Tak habis akal, sang siswa asing yang tidak ingin Alta hafal wajahnya itu kembali berujar. "Tak kenal maka ta'aruf, nama saya Nando."
"Oke," Alta hanya mengangguk kan kepalanya.
"Nah, sekarang saya boleh minta nomor hape nya?" Tanya siswa asing yang namanya adalah Nando itu. Tuh kan Alta jadi harus menghafal nama orang lain lagi. Padahal Ia terlalu malas menghafal nama-nama orang, apalagi materi pelajaran biologi. Tapi otaknya secara otomatis menyimpan nya.
"Enggak, enggak, enggak!" Tolak Alta bertubi-tubi.
Wajah Nando terlihat lesu, mungkin stok kesabarannya sudah habis menghadapi keras kepala nya Alta. Syukur deh, Alta tidak perlu juga menghafal orang itu.
Go a way! Perintah Alta dari lubuk hatinya yang paling dalam. Mengusir dengan kasar siswa bernama Nando itu. Alta kembali duduk bersandar lalu mulai bersiap mendengarkan musik lagi.
"Yaudah deh, kalo gitu. Makasih ya, Alta." Pasrah Nando. Ia lalu bangkit dan menatap sebentar Alta yang tidak balas menatap nya.
"Hm, sama-sama." Walaupun Alta sudah memasang headphone nya, tapi Ia belum menyalakan lagu.
Nando mundur selangkah dan menyimpan telepon genggam nya yang tidak disentuh sama sekali oleh Alta untuk mengisi nomornya itu di saku celana abu-abu. Nando lalu berjalan keluar perlahan dari kelas dengan kepala yang tertunduk. Mungkin Ia malu karena gagal total dengan modusnya pada Alta.
Alta pun bernafas lega setelah Nando berjalan melewati pintu kelasnya, Ia bersiap untuk memilih lagu. Namun sebelum dirinya menyetel soundtrack Frozen - Let it Go, telinganya mendengar seisi kelas menggoda nya.
"CIEEE...!" Seketika suasana kelas lebih riuh dari sebelumnya.
Alta yang tetap menampilkan ekspresi wajah datar, sebenarnya sedang menahan malu. Ia lalu menelungkup kan wajahnya setelah buru-buru menyetel musik dengan volume keras. Agar tidak mendengarkan apapun yang dikatakan oleh anak kelas.
Ini semua gara-gara Nando!
***
Esoknya Alta bangun pagi dan mencuci baju seragam dan baju sehari-harinya yang kotor. Setelah selesai, Ia lalu mengepel rumah dan setelah kering menyapunya kembali.
Tidak lupa Ia menghampiri kandang yang berisi dua marmut. Mereka berpasangan, yang betina Alta beri nama Cici dan yang jantan diberi nama Olio.
Mereka sudah sangat besar, karena Alta memelihara mereka dari satu tahun yang lalu. Dari mereka baru lahir sampai Cici sekarang mengandung, Alta yang urus.
Mamahnya tidak menyukai hewan, ribet ngurusin nya kata mamah waktu itu. Tapi Alta membuat seribu satu alasan agar mamah menyetujui nya, salah satunya dengan membersihkan kandang Cici dan Olio setiap Sabtu.
Waktu Cici dan Olio masih kecil, Alta masih membersihkan kandang mereka dua minggu sekali. Namun ketika mereka sudah besar seperti sekarang, seminggu sekali saja kotoran mereka sudah penuh.
Tapi Alta tidak mencium baunya karena Ia selalu menahan nafas ketika membersihkan semuanya. Termasuk ketika dirinya memandikan Cici dan Olio, mereka menggunakan sabun cair yang sama dengan Alta.
Seperti sekarang ini setelah Alta membersihkan kandang nya sambil mengurung Cici dan Olio di ember, Ia memandikan keduanya dengan memberikan sabun cair lalu menggosok-gosok badan mereka. Walau Cici dan Olio mandi menggunakan sabun cair manusia, mereka tidak pernah sakit atau bahkan mati. Marmut memang hewan yang kuat, Alta juga menyetujuinya.
Alta mulai membersihkan sabun di badan marmut dengan air mengalir dari selang. Setelah badan marmut tidak licin, Alta mulai memasukan mereka kembali ke kandangnya sambil di jemur.
Dirinya berdiri lalu meregangkan otot-otot badannya yang kaku. Setelah beberapa kali mengulang kegiatannya itu, Mamah memanggil nya dari dalam.
"Cil, bantu mamah masak nasi. Ntar kamu teriak-teriak lapar lagi,"
"Iya!" Alta segera berlari kecil ke dalam rumahnya. Namun Ia tersandung batu dan jatuh. Sial. Betisnya yang tidak mulus menjadi semakin tidak mulus akibat hal yang sama.
Tumitnya juga yang sudah banyak tanda jatuh, bertambah luka. "Mamah...!" Rengek Alta.
"Mata kamu aja yang seliweran," balas Mamah dari dalam rumah tanpa keluar untuk membantu Alta. Sudah terlalu biasa untuk Mamah nya melihat sang anak sering jatuh tanpa ada hal lain yang menyebabkan Alta jatuh selain kecerobohan anaknya sendiri itu.
"Huh,"
Marmut yang sedang berdiam sambil berjemur itu tiba-tiba membuka suara, saling menyahut. Seakan-akan meledek Alta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hibernasi
Teen FictionKisah tentang seorang Alta Cicilia Nadzari yang bodoh ketika SMA dan memiliki sedikit teman. Who knows? di balik semua itu, dulu dia adalah Nomor 1. Kisah ini juga tentang seorang Raihan Fadillah yang membantu dia 'bangun' dari Hibernasi panjang nya...