Secangkir Coklat Panas dan Pigura Kecil

34 5 2
                                    

Raihan Fadhillah

10 Juli 2017

Suasana malam kota di Eropa terasa dingin karena sedang musim gugur. Jalanan lengang karena para penduduknya lebih memilih berdiam di rumah daripada berjalan-jalan di tengah kota. Disalah satu flat terkenal disana, seorang remaja kurus dengan sweater yang merengkuh tubuh nya sedang mengerjakan banyak tugas. Merasa sedikit pegal, dirinya meregangkan otot-otot kaku dengan melakukan streching sebentar lalu meminum coklat panas yang ada di ujung meja.

Setelah menyesapnya beberapa kali, mug itu lalu di pegang kedua tangannya. Merasakan sensasi hangat menghampiri telapak tangan kemudian menembus ke jari-jarinya.

Hah, hangat.

Matanya melihat sisi kamar yang terjangkau olehnya. Menelisik satu persatu barang-barang yang nampak di dinding, lantai dan mejanya. Sampai pada satu titik matanya terdiam memperhatikan, sebuah pigura. Tangannya perlahan menyimpan mug yang isinya tinggal setengah itu sambil terus menatap pigura kecil yang berdiri sendirian di meja berbentuk seperempat lingkaran yang letaknya berada tepat pojok kamar.

Badan kurusnya mulai bangkit dari singgasana belajar dan berjalan perlahan dengan sendal rumahnya menghampiri pigura kecil yang seakan akan menarik dengan tali tak kasat mata.

Tangan kanannya tak kuasa untuk mengambil pigura itu agar bisa ia perhatikan dengan seksama. Karena badan kurusnya menghalangi cahaya yang menyinari pigura kecil berukiran sulur itu, dirinya memutar badan dan mendekati kembali meja belajarnya yang penuh oleh tugas-tugas. Kemudian duduk dengan mantap dan menyimpan pigura di dekat lampu belajar nya.

Ya. Kini ia bisa memperhatikan foto di pigura itu dengan jelas, sangat jelas.

Pantas saja dirinya jarang memperhatikan pigura tersebut karena pojok kamarnya itu redup sehingga hanya seberkas cahaya saja yang menyinarinya.

Tok tok tok.

Ketukan pintu kamar membuat fokusnya langsung terpecah. Disaat ia sedang menikmati waktu memandang foto dan mengingat banyak kenangan dibalik foto tersebut, seseorang menginterupsi nya.

Tanpa di izinkan masuk terlebih dahulu olehnya, sang Bunda sudah membuka pintu dengan lebar dan menghampiri meja belajarnya. Bukan, bukan meja belajarnya lebih tepatnya dirinya.

Karena Bunda berjalan memutari meja belajar dan kini berdiri tepat dibelakangnya. Tangan sang Bunda terulur menyentuh kepalanya dan bergerak mengelus rambut cepaknya perlahan.

"Gimana, udah habis belum coklatnya?"

Dirinya menatap Bunda melalui cermin yang tepat di gantung di dinding dekat pintu kamar nya, menghadap kearah mereka. Ia lalu tersenyum lembut kepada sang Bunda. Suasana seakan menghangat di kamarnya.

"Belum, Bun. Baru separonya,"

"Hm? Tumben?"

Bunda balas menatap anak tunggal nya itu melalui cermin. Mereka saling menatap. Bunda menghentikan usapan lembut nya di kepala Raihan dan beralih ke bahunya. Kedua tangan Bunda menepuk bahu Raihan perlahan sambil matanya melihat tugas-tugas yang anaknya kerjakan itu.

Bunda mengerutkan keningnya, ia lalu meraih pigura tersebut dan mengusap nya dengan tangan kanan. Ternyata ini yang Raihan perhatikan sedari awal Ia masuk kamar anaknya itu.

Pigura berukir sulur itu berisi foto dua orang anak kecil yang saling berpelukan bahagia dan menatap kearahnya, tepatnya kamera yang mengabadikan momen penting keduanya saat itu. Dengan gigi bolong di masing-masing anak. Dan wajah lugu yang terpatri jelas di keduanya.

Yang satu, seorang anak perempuan berambut hitam sebahu yang modelnya seperti kartun anak perempuan penjelajah yang selalu ditemani oleh monyet kesayangan dan peta ajaib serta ranselnya itu. Namun anak perempuan ini berkulit cerah dan lebih cantik dengan bandana rajut warna putih di rambut nya. Anak perempuan itu menggunakan dress putih tanpa lengan dan roknya yang mengembang membuat terlihat sangat imut.

HibernasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang