Walaupun aku tidak pernah mengerti, tetapi di tempat ini aku diharuskan memahami dan mengetahui seberapa besar satu kata yang dinamakan peran. Seperti suatu rantai makanan absolut--- tak ada kata perubahan kepada individual dengan rasa manusiawi tanpa tahta. Gedung sebesar ini seringkali dikatakan sebagai sebuah manor, banyak orang datang atas tujuan pribadi atau sekadar terjebak. Tak sedikit bernasib sama dan menyandang status sebagai korban. Berulang kali memenuhi keinginan dari figur dengan tahta; mereka adalah orang-orang tersakiti dan memilih jalan melukai tanpa ada sisa rasa manusiawi selain sebuah gairah tersendiri. Menyiksa sampai membunuh, atau melakukan hal sesuka hati sebagai tuan rumah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mencari jalur kabur dalam permainan resmi, tetapi walaupun mereka berlaku adil--- aku bisa bersumpah kepada tuhan bahwa permainan itu adalah pembunuh harapan dan pada akhirnya bagi mereka dengan tahta dan kebencian akan selalu bersenang-senang pada siklus distopia bagiku.
Tempat ini adalah belahan dunia yang menakutkan. Jauh lebih menakutkan daripada dunia luar sana. Kentara tidak tahu bersyukur dan mengeluh, kini aku dihadapkan pada perandaian tanpa henti. Bagaimana jika aku tidak terhasut dan masih memikul beban sampai mendapatkan harapan pada mata masyarakat? Aku ingin menangis saat kesadaran realita merasuki, tetapi diriku tahu bahwa tangisan tak bisa keluar karena atmosfer pada tempat ini. Menakutkan dan mencekam; penerangan adalah hal cukup langka selain sumber cahaya seadanya, pemandangan hutan di sekitar terbentang luas seperti memberi tembok tanpa cela. Tubuh tak pernah merasa nyaman selain mendapatkan teror dan harapan melelahkan tentang hidup untuk esok hari.
Tetapi sebuah melodi mulai membawaku kepada kesadaran penuh. Berasal dari sebuah realita hingga memberi tanda tentang pemutar balik sebuah ingatan menyakitkan, walaupun keindahan dari setiap tuts piano menciptakan pertunjukkan instrumental--- indra penglihatan jauh lebih enggan berfungsi dibandingkan pendengaran. Jelas melewati fase istirahat, kedua mataku terbuka secara perlahan dalam keadaan tidak sesuai keinginan selayak seseorang sehabis tidur pada umumnya; menangkap keberadaan titik cahaya dari bolam lampu meja--- ratusan titik putih mengitari sumber dalam keindahan sederhana selayak mendistraksi sebuah sisa pemandangan di mana kegelapan ruang sekitar berada. Suara rintik mendampingi permainan seperti membawa kisah tragedi yang menyedihkan dan tanpa kusadari, aliran air mata sejak cukup lama sudah mengering pada permukaan kedua pipi. Aku menoleh dalam perasaan lirih di bawah alam sadar; memandang antensi terdekat, yaitu keberadaan jendela berembun dengan ratusan rintik air hujan terjatuh membasahi bumi, langit terlihat sangat kelam dan membuatku tidak mampu menebak spesifikasi waktu karena halangan kumpulan awan kelabu. Pohon tanpa daun, ah, sudah tak terasa telah memasuki musim gugur.
"It's time to wake up, My beautiful Lady. Even if I don't mind if you become the sleeping beauty."
Suara lembut dari nada bariton seharusnya membawa ketenangan tersendiri, salah satu faktor pula yang menjadi pemikat hati para lawan jenis berkat jaminan dari panggilan afeksi keindahan. Tetapi bagi diriku, suhu dingin pada ruangan tak bisa menandingi kalimat tersebut--- tubuh terselimuti selimut adalah penangkal suhu, tetapi tidak ada yang bisa menangkal efek dari suara itu. Sekujur badan bergemetar hebat seakan bertanya dari mana sang lelaki dapat mengetahui fase kesadaranku, karena jelas kutahu asal suara piano terbuat olehnya dan pembayangan bahwa punggung membelakangiku sudah menjadi faktual tersendiri.
"Jack---" panggilku lirih dalam suara yang terhasilkan pada satu hembusan napas. Menggesek pelan bagian wajah di atas permukaan bantal sembari memejamkan mata seakan dengan sederhana hendak menghapus bekas aliran air mata. Setelah kedua kelopak mata terbuka sedikit, kutolehkan pandang kepada Jack; sebuah panggilan yang ia peruntunkan untukku. Menggunakan pakaian formal dengan jas rapi yang menekan postur tubuh, helai rambut hitam, dan kulit pucat membuatku berulang kali berpikir bahwa aku telah membuat mayat hidup jatuh hati kepada manusia mortal. Ia terlihat menyampingkan pandangan-- kedua tangan tetap lihai menekan tuts dengan jemari, bergerak lancar dan memadu. Sebelum senyuman tipis pada wajah khas tirusnya terlihat. Menyambutku secara suka cita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise → Identity V
Hayran KurguSegala hasil karya seni memiliki nilai. Sedangkan kau terkoneksi oleh salah satunya yang jelas membuat Jack The Ripper menaruh 'hati' kepadamu. Tetapi, ketahuilah, kisah antara manusia normal dan juga makhluk gila tidaklah manis. Maka saat kau terti...