Donghyuck sampai di rumahnya sendiri ketika malam menjelang. Dia sudah lebih dulu memberitahu mama dan papanya, tapi tidak dengan Jeno. Donghyuck tidak berharap untuk bertemu dengan Jeno sekarang. Dia belum siap.
Tapi tentu saja harapannya tidak terkabul.
Ketika Donghyuck tengah berusaha membuka pagar rumah, terdengar suara Jeno yang memanggil namanya. Donghyuck sengaja tidak menoleh. Dia malah mempercepat gerakan tangannya membuka pagar rumah. Ketika pagar rumahnya terbuka, belum sempat Donghyuck melangkah masuk, lengan kekar seseorang—Jeno—sudah lebih dulu melingkari tubuhnya dengan erat.
Donghyuck hanya bisa mematung di tempat kala merasakan embusan napas hangat Jeno yang mengenai tengkuknya. Jeno tidak mengatakan apapun, begitu juga dengan Donghyuck. Mereka berada di dalam posisi itu selama beberapa detik sebelum kemudian pelukan Jeno pada tubuh Donghyuck mulai mengendur.
Donghyuck sudah bersiap-siap untuk berlari masuk ke dalam rumah setelah Jeno melepas pelukannya, namun hal itu tak pernah terjadi. Jeno tidak melepaskan pelukannya, pemuda itu malah memutar tubuh Donghyuck agar mereka berdiri berhadapan. Sontak Donghyuck menundukkan kepalanya. Saat ini dia lebih baik menatap ujung sepatu yang dia kenakan daripada menatap Jeno.
"Hyuck," lirih Jeno, "Kita bisa."
Entah kenapa dua kata dari Jeno itu malah membuat hatinya semakin teriris-iris. Dia tidak mengerti maksud dari kalimat Jeno. Bisa apa? Apa yang mereka bisa lakukan kalau benang merah saja sudah menunjukkan takdir mereka yang tidak akan bisa bersama?
"Bisa apa, Jen?" tanya Donghyuck pelan, masih setia menatap ujung sepatunya, "Kita berdua udah selesai. Gak ada lagi yang bisa bisa kita lakukan." Donghyuck merasa ada batu besar yang mengganjal tenggorokannya ketika berkata demikian pada Jeno.
Dia ingin percaya pada Jeno. Dia ingin percaya kalau ada yang bisa mereka lakukan untuk tetap bisa bersama. Tapi—
"Ini bukan akhir, Hyuck." Tangan Jeno menyentuh dagu Donghyuck, membuat Donghyuck mau tak mau jadi harus menatap lurus pada Jeno. Donghyuck sedikit terkejut ketika mendapati Jeno tersenyum padanya seraya mulai menangkup wajahnya, "Kita masih bisa mengubahnya."
Donghyuck terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Jeno. Dia kemudian melepas paksa tangan Jeno yang berada di pipinya dan mulai melangkah mundur, "Kamu gila?" tanya Donghyuck dengan kening berkerut, "Benang merah itu udah mutlak, Jen. Gak bisa main diubah-ubah gitu aja."
Donghyuck benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Jeno. Apa Jeno pikir dia bisa mengubah takdir semuda membalik telapak tangan? Karena jika Jeno memang berpikiran seperti itu, Donghyuck yakin sahabatnya itu memang sudah kehilangan akal sehatnya. Donghyuck baru akan berbalik badan dan masuk ke dalam rumah ketika suara Jeno kembali terdengar.
"Ah, maaf. Kamu pasti salah menangkap maksud omonganku kan?" Jeno terkekeh pelan sebelum melanjutkan perkataannya, "Maksudku.. kita berdua masih punya harapan."
Donghyuck mengernyit, "Harapan apa?"
Jeno masih setia memasang senyum di wajahnya, kedua tangannya meraih tangan Donghyuck dan menggenggamnya erat-erat. "Selama kamu di rumah Renjun, aku nyari dan baca beratus-ratus situs di internet tentang benang merah,"
Dua manik Donghyuck sontak membulat mendengar penuturan Jeno. Seorang Jeno, membaca-baca situs tentang benang merah? Tidak mungkin. Donghyuck bahkan pernah memaksa Jeno membaca satu kisah romantis soulmate di internet, yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Jeno. Lalu kenapa tiba-tiba Jeno—
"Gak semua benang bisa langsung tersambung sama soulmate-nya tepat saat benang itu muncul," ujar Jeno, memotong kereta pikiran di kepala Donghyuck, "di beberapa kasus yang jarang terjadi, benang merah bahkan bisa muncul bertahun-tahun setelah seseorang bertemu sama soulmate-nya."
Kalimat yang keluar dari mulut Jeno terdengar penuh percaya diri, membuat Donghyuck tersenyum tipis sebelum kemudian melepaskan tangannya dari genggaman Jeno.
"Jeno," panggilnya seraya mengangkat sebelah tangan dan mengarahkannya untuk mengelus pipi Jeno, "Kamu kira aku nggak tau tentang itu?" tanyanya, "Aku menghabiskan bertahun-tahun membaca semua hal tentang benang merah, tentang soulmate," Donghyuck terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "aku tahu semua fakta itu."
Donghyuck bisa melihat jelas bagaimana senyuman Jeno berangsur-angsur menghilang. Menyakitkan baginya melihat hal tersebut, namun dia harus tetap mengatakannya pada Jeno. "Kita gak punya—"
"Plis, Hyuck," Jeno memohon, memotong ucapan Donghyuck, "Kita masih punya harapan… kamu percaya kan?" tanyanya, "Bohong kalau kamu bilang gak percaya."
Donghyuck menghela napas pelan, "Aku gak mau lagi berpegang sama harapan," lirihnya, "terlalu sakit kalau hasilnya gak sesuai keinginan kita."
"Kalau gitu jangan percaya sama harapan," Sekali lagi Jeno meraih tangan Donghyuck, "Percaya sama aku."
Donghyuck terdiam. Di keremangan lampu jalanan, dia bisa melihat mata Jeno yang mulai berkaca-kaca. Pemandangan yang sangat jarang dia lihat, membuat hatinya mencelos.
"Percaya sama aku, Hyuck." ulang Jeno, setiap katanya penuh penekanan. Kedua mata mereka bersitatap. Dan entah mendapat dorongan dari mana, Donghyuck pun menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
hereafter; nohyuck✔
Fiksi PenggemarDonghyuck tahu kalau Jeno akan menjadi soulmate-nya. Donghyuck tahu, dan dia bisa merasakannya. Tapi bagaimana jika benang merah takdir mengatakan hal yang sebaliknya? [yaoi | soulmate!au | semi-baku]