"Jadi, siapa yang berada di sini malam-malam?" guman Alanza.
***
Alanza berjalan menghampiri seseorang yang sedang duduk termenung di dekat danau.
Seseorang yang sedang merenung tersebut mendengar suara langkah orang yang sedang mendekatinya. Ia pun melihat ke asal suara tersebut.
"Alanza," ujar Kirania.
"Kirania," ucap Alanza.
Mereka berdua kompak menyerukan nama tersebut. Dan, mereka pun langsung tersenyum kikuk, kemudian tertawa.
"Ada masalah lagi?" Kali ini mereka pun masih kompak bertanya dengan bersamaan. Mereka kembali tertawa.
"Lo duluan aja, Nia."
"Lo dulu. Gapapa, Za."
"Udah. Tinggal cerita aja, Nia."
Begitulah mereka ketika hanya berdua. Kirania memanggil Alanza dengan sebutan 'Anza', sedangkan Alanza memanggil Kirania dengan sebutan 'Nia'. Entah siapa dulu yang mengawalinya.
"Kaya biasanya, Za. Lo juga, kan?"
"Iya."
"Apa gue yang egois, Za. Apa iya, gue yang gak pernah ngerti capeknya jadi mereka. Tapi ... tapi." Belum selesai ia menyuarakan isi hatinya, bening air mata itu dari netranya. Membuatnya susah untuk melanjutkan perkataan yang hendak ia lontarkan.
"Sudah, jangan nangis. Lo gak egois. Lo udah berusaha ngertiin mereka, kan?" Alanza menasehati, sambil mengusap pelan kepala Kirania.
"Iya, Za. Tapi gue pengen deket sama mereka lagi, Za. Gue ... gue pengen kaya dulu lagi. Masa dimana gue masih disayang, diperhatiin sama mereka. Bukan kaya sekarang, mereka jadi gila kerja, Za."
"Hapus air mata lo, Nia. Ada gue di sini yang selalu di samping lo. Kalo lo butuh gue, lo tinggal panggil gue. Bahu gue selalu siap buat jadi sandaran lo."
"Makasih, Za. Lo sahabat terbaik gue."
'Gapapa kalo sekarang gue cuma dianggep sahabat sama lo. Tetapi suatu saat nanti, gue pengen punya hubungan yang lebih dari sekadar sahabat sama lo, Kirania,' batin Alanza.
"Sama-sama. Sekarang hapus air mata lo. Lo bukan putri duyung, yang kalo nangis air matanya bisa jadi mutiara. Lo nangis tetep wujud air, asin lagi. Jadi, jangan buang air mata lo karena hal biasa kaya gini. Gue bantu hapusin air mata lo, ya," ujar Alanza sambil menghapus air mata Kirania. "Lo itu kuat, Kirania," imbuhnya.
"Iya, Za," Kirania terkekeh karena candaan Alanza, "Ayah Ibu lo berantem lagi, Za?" lanjut Kirania.
"Iya. Gue sampe capek liatnya. Paling besok juga sudah baikan lagi."
"Berarti sekarang Adira juga lagi sedih? Kan, setiap Ayah Ibu lo berantem, orangtua Adira juga berantem."
"Mungkin," jawab Alanza.
"Kita hibur dia, yuk!"
"Mungkin dia lagi butuh waktu sendiri. Biasanya kalo dia sedih pasti ke sini, kan? Tapi sekarang dia gak di sini."
"Iya juga, sih."
"Lo mending pulang sekarang. Udah malem,"
"Iya, Za. Lo pulang juga?"
"Iya, lama-lama disini dingin."
Alanza mengantar Kirania pulang ke rumah. Di srpanjang jalan pulang, Alanza terus menghibur Kirania. Dia merasa tak rela jika Kirania sampai bersedih. Setelah sampai di halaman rumah Kiania, ia pamit untuk pulang ke rumahnya sendiri.
***
Sementara itu, di suatu sudut taman di dekat danau terdengar isak tangis yang cukup memilukan. Adira terduduk di tanah dekat bangku taman. Masalah keluarganya yang belum menemui titik terang, ditambah lagi dengan ia melihat sahabatnya sedang berduaan menjadi pemicu kondisinya saat ini.
Entah sejak kapan ia memiliki rasa kepada sahabat sejak kecilnya. Rasa itu seolah hadir dengan sendirinya. Berawal dari rasa kagum hingga terus bertambah tingkatannya. Ia seolah tak rela jika mereka duduk sedekat itu hanya berduaan. Ia pun mendengar percakapan mereka dengan jelas. Tepat di hatinya merasakan perih seperti tersayat sesuatu. Hingga meninggalkan bekas yang akan selalu ada. Sakit! Sungguh sakit.
"Hiks .... " isaknya.
"Hei." Datang seseorang menepuk pundaknya. Adira terkejut. Lantas mendongak, hendak melihat siapa pelaku yang membuatnya terkejut.
"Lio," cicitnya.
"Hm. Duduk di bangku, yuk!"
"Lo kenapa, Dir?"
"Gak papa, Yo. Gue cuma lagi latihan akting. Hehe," Adira berusaha tersenyum.
'Lo gak bisa bohongin gue, Dir. Sejak kapan lo suka akting, kalo ada tugas drama lo seringnya minta jadi patung. Kata lo, biar gak ribet,' Adelio terkekeh karena memikirkan hal tersebut.
"Lo masih waras, kan, Yo? Gue jadi merinding liat lo senyum kaya gitu."
"Eh. Kenapa? Kenapa?"
"Lo ngapain senyum-senyum sok manis gitu? Lo kesambet?"
'Ini yang gue suka dari lo, Ra. Lo itu kuat. Lo gak mau orang lain tau tentang kesedihan lo. Ada di dekat lo, gue bahagia,' batin Adelio.
"Tuh, kan. Lo senyum-senyum lagi. Gue tambah merinding, Yo," ucapnya seraya mengelus-elus lengannya. "Eh. Lo yang lagi ngerasukin tubuh temen gue. Cepet keluar. Apa enaknya coba ngerasukin orang kek dia."
Setelah sadar dari lamunannya, "Woi, gue masih waras. Gak kerasukan. Di sini gak ada kera."
"Kok kera? Lo ngomong apa, sih, Yo?"
"Gak jadi. Yuk pulang. Udah pagi," ajak Adelio sambil menggandeng lengan Adira, "Gue mau anterin tuan putri tidur dulu," imbuhnya.
"Ini malem, Yo. Putri tidur? Maksudnya gue?" tanya Adira sambil menunjuk dirinya.
"Iya," ucap Adelio santai.
"Hih. Gue bukan putri tidur, Yo!" bentaknya, lalu berlari menjauhi taman. Adira memang tidak suka jika ada seseorang yang menyebutnya putri tidur. Entahlah. Ia sangat tidak menyukai itu.
"Lo kalo lagi ngambek tambah cantik, Adira," gumam Adelio lalu ia pun lari mengejar Adira.
####
Next, gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
AthreeK's Squad
Teen FictionSeantero SMA Dharma sudah pasti mengenal AthreeK's Squad. Siapa yang tidak mengenal mereka? Si empat sekawan yang selalu terlihat kompak. Persahabatan yang terjalin sejak masa kanak-kanak membuat mereka selalu bersama, saling menjaga antar satu sama...