Pertemuan pertengkaran

436 17 0
                                    

    Aravina (POV)

Aku benar-benar tidak bisa menyangka pertemuan dengan pria tampan tapi sepertinya menyebalkan. Bisa-bisa nya dia memanggilku anak kecil, oke aku tahu wajahku memang seperti anak berumuran 14th. Tapi, tidak sampai segitunya juga dia memanggilku anak kecil.

Eh tapi, tunggu. Sepertinya aku baru pertama kali melihatnya. Selama satu tahun setengah aku bolak-balik halte aku tak pernah melihatnya. Atau mungkin dia itu warga baru? Lalu darimana ia berasal? Astaga, Ara apa yang kau pikirkan. Dia itu bukan urusanmu. Mau dia warga baru, atau warga lama sekalipun itu tak ada untung dan pengaruhnya bagimu.

Aku kembali memfokuskan pikiran ku di depan layar laptopku. Mungkin beberapa halaman lagi naskah novel nya akan segera selesai. Tinggal mengirimkan kepada Revi dan aku akan mendapat uang kembali. Untung saja besok libur kuliah. Jadi, aku bisa bangun lebih siang sebelum akhirnya berangkat ke butik nya Joe.

Tanganku kembali menari diatas keyboard laptop yang sudah dihapal oleh jari-jariku. Kata demi kata terlintas di otak ku. kemudian dengan tanggap jari-jari ini menuliskan setiap apa yang otak ku perintahkan. Selama kurang lebih 3 jam aku akhirnya meregangkan anggota tubuhku sebentar, rasanya ototku semua terasa kaku. "Ara, belum tidur?" Tanya suara mom yang sangat aku kenal.

          "Sebentar lagi mommy, Ara lagi ngetik lanjutan novel yang sudah mulai di cetak mom. Aku harus segera menyelesaikan nya," Balasku menatap mommy sebentar.

          "Jangan terlalu di paksakan Ara, bahkan mommy rasa uang gajimu dari butik sudah cukup untuk biaya kuliahmu dan sekolah Ryan," Mommy menatapku iba. Aku berputar dari kursi ku yang sudah lumayan lusuh. Ke genggam jemari mommy dan mengecupnya sebentar.

          "Aku tidak memaksakan mom, selagi penerbit menerima kenapa enggak? Lagipula mommy kan tahu sendiri Ara itu paling tidak bisa tidur jika masih sore." Ucapku.

          "Sebaiknya mom tidur, Ara sebentar lagi akan tidur  kok mom," Aku mengecup kening nya dan membalik kan kembali tubuhku menghadap layar laptopku.

Ku baca ulang kembali kata demi kata yang sudah tertera di layar laptopku. Meskipun nantinya Revi akan membaca kembali, tidak ada salahnya aku membantunya agar tidak terlalu lelah. Aku menutup laptopku setelah aku selesai membaca ulang dan menyimpan di folder yang sudah tertera beberapa dari novelku. Novel yang berisi dengan kisah cinta para remaja. Dengan berbau fiksi yang romantic. Ku berjalan menuju kamar mandi dan membasuh wajahku. Setelahnya aku langsung menaiki kasurku.

Walaupun kasur ini sudah tak empuk lagi. Setidaknya, aku masih lebih beruntung dari orang di luar sana. Ku berdoa setelah itu ku pejamkan mataku. Berharap besok lebih baik dari hari ini.

                                      ****

Bersantai di hari libur benar-benar sangat di manfaatkan oleh semua orang. Tapi, beda denganku. Aku lebih memilih, waktu hari minggu untuk mencari uang tambahan. Kebutuhan ku lebih penting dari sekedar bersantai dan menghabiskan waktu dengan sia-sia.

Mungkin suatu saat nanti aku akan menghapus kata-kata ku ini, saat dimana aku akan menemukan pangeranku. Seorang pengusaha sukses yang tampan yang aku cintai dan mencintaiku. Ya tuhan, rasanya aku ingin segera menemukan pria seperti yang selalu ada dalam hayalanku. Pria tampan yang penuh dengan karismatik serta memikat, pria yang juga seorang pengusaha. Bertubuh kokoh dan memiliki dada yang bidang. Seperti dewa Ares mungkin.

Tanpa ku sengaja tiba-tiba saja kedua sudut bibir ku tertarik membentuk sebuah senyuman. Aku tahu ini mungkin saja tidak akan terjadi. Tapi, apa salahnya jika aku berharap soal percintaan ku semulus cerita yang ku tulis. Agak weird memang. Mungkin aku yang terlalu sibuk membayangkan pria masa depanku, atau aku memang tidak melihat jalanku. Bisa juga orang yang ku tabrak ini yang tak punya mata. "Au," pekik ku mengelus jidatku pelan.  Aku menaikkan kepala ku yang hanya sampai batas dadanya,

          "Yatuhan, bisakah kau berjalan menggunakan matamu? Kau tahu keningku sakit terbentur dadamu." Ucapku lagi tanpa menatapnya.

          "Seharusnya kau lah yang menggunakan matamu, kau pikir ini jalan milik nenek moyangmu. Sehingga kau bebas menggunakan nya dengan sambil menghayal serta tersenyum layaknya orang gila." Aku melotot mendengar ucapan nya, lancang sekali mulutnya. Apa iya dia tidak memiliki sopan santun. Aku mengangkat wajahku, dan ya tuhan mengapa lagi-lagi pria ini yang aku temui.

          "Kau, aku tidak tahu yah salahku apa denganmu, yang jelas setiap kali bertemu denganmu pasti aku selalu sial. Dan aku harap ini pertemuan terakhir kita. Permisi," Aku berjalan meninggalkan pria yang sudah 2 hari ini selalu memberiku kesialan.

          "Seharusnya aku yang mengatakan itu anak kecil," Ucapnya lagi. Aku berhenti kemudian membalikkan tubuhku.

          "Aku bukan anak kecil pak tua," Balasku ketus dan kembali melanjutkan langkahku. Dia pikir dia siapa selalu memanggilku anak kecil.

Aku tiba di butik Joe tepat pukul 1 siang. Aku langsung menuju ruangan dimana aku biasanya bekerja. Kulihat Joe yang tengah melayani beberapa pelanggan. Sepertinya hari ini butik milik Joe sangat ramai. Joe menatap kearahku tiba-tiba,  aku menjauhkan tatapanku dan langsung pura-pura melayani pelanggan yang kebetulan baru saja masuk, "Ara," panggil Joe. Aku menoleh, ku tunjuk diriku tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dan Joe langsung mengangguk.

          "Ada apa Joe,?" Tanyaku, inilah enaknya bekerja dengan Joe, ia tidak pernah menganggap karyawan nya sebagai bawahan.

          "Kau bisa membantuku bukan?" Tanya Joe yang mampu membuatku menautkan kedua alis mataku.

          "Nyonya Smith meminta untuk kau mencoba gaun ini sebentar, dengan kata lain tubuh mu seukuran dengan tubuh putrinya," Joe tersenyum kepadaku, aku menatap nyonya Smith dan kemudian mengangguk sambil tersenyum. aku berjalan membawa gaun yang akan aku coba bersama Joe.

          "Kau tahu aku sangat merasa di bantu sejak kehadiran mu, belum lagi saat seperti ini. Dengan tubuh mungil serta wajah imutmu pelanggan ku selalu tertarik untuk menjadikan mu model gaunku," Aku terkekeh mendengar ucapan Joe, dia ini benar-benar berlebihan harusnya akulah yang berterima kasih atas pekerjaan serta gaji yang lumayan besar yang di berikan oleh Joe.

          "Aku yang berterima kasih Joe, kau sudah sangat baik padaku. Di luar sana bahkan banyak yang tidak percaya padaku dan takut  memberiku pekerjaan." Ucapku,

          "Tapi, tidak denganku, Justru sejak kehadiranmu aku merasa butik ku ini semakin ramai. Kau itu seperti sebuah hoki bagiku," Aku tersenyum. ku lihat gaun yang kini menempel di tubuhku, bagaimana kira-kira?

          "Apakah mengecewakan?" Tanyaku melihat Joe ragu.

          "Tidak pernah aku merasa kecewa dengan apapun yang aku lakukan padamu swety," Joe kau terlalu baik padaku.

          "Terimakasih Joe, kau tahu aku merasa sangat berhutang padamu. Kau begitu baik Joe," Aku menuduk sedih,

          "Jangan sedih, aku sangat senang bisa membantumu. Sekarang kau harus membuat pelanggan ku puas, sebagai timbal baliknya. Ayo," Aku tersenyum mendengar lelucon yang di lontarkan Joe. Dia itu benar-benar sudah seperti malaikat bagiku.

Aku berjalan di belakang Joe, dan seperti biasanya setiap kali aku di sulap oleh Joe dengan gaun indahnya. Para pelanggan yang kebetulan berada di ruangan akan terpana, tentu saja kepada gaun yang kupakai. Aku tersenyum melihat wajah puas dari Joe. Aku senang bisa membantunya.

Tlg di vote ya guys:) biar semangat

My weird Husband is not gay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang