6: Real

63 8 1
                                    

Kedatangan Minju disambut meriah oleh Yujin. Nggak bohong, deh. Ini meriah banget! Meriah dan ngeribetin.

Semalaman suntuk Yujin ngehias kamar Minju dengan berbagai dekorasi handmade yang ia ikuti dari tutorial di internet. Pernak-pernik lucu yang dibeli bersama Junho pun ia libatkan untuk memeriahkan acara.

Dan tadi Yujin udah standby di belakang pintu buat menebar potongan kertas warna saat Kakaknya masuk kamar. Kertas-kertas itu dipotongin sama Minhee, tapi anaknya malah ngabur lagi kayak biasanya. Ya udahlah, terserah bocil aja.

Mau tahu gimana reaksi Minju?

Dia tepuk tangan sambil sibuk bilang wah dan wow berkali-kali. Padahal nggak segitu kerennya sampai dipuji berlebihan. Cuma ya, ini Minju. Lagi marah juga masih sempet ketawa!

Sementara Bunda yang lihat lantai kamar jadi berantakan cuma bisa beristigfar dalam hati. Bingung padahal tadi pagi si bungsu bilang mau bersihin kamar Kakaknya, tapi kenapa malah jauh dari kata bersih?

“Ih Kak curang banget sih, jadi makin cantik!”

Bukan Minju, tapi malah Bunda yang nyahut, “Bunda abis mandi juga makin cantik kok nggak dipuji?”

Yujin dan Minju kompak tertawa. Bunda emang sehumoris itu. Beda sama Ayah yang nggak bakalan ketawa selain karena lawakan Bunda. Iya betul banget, ketawa karena bucin doang!

Jadi hasilnya tuh gini :
Ayah = Minju
Bunda = Yujin

Omong-omong soal Ayah, beliau sudah wafat sejak Yujin masih kecil. Penyebabnya pun Yujin nggak tahu pasti. Tapi kata orang-orang, Ayah sakit parah.

Sebenarnya Yujin merasa sangat asing dengan Ayahnya. Seberusaha apapun dia coba buat ingat, tapi memorinya nggak pernah sampai. Bahkan untuk mengingat nama lengkapnya pun kepala Yujin langsung sakit. Jadi emang bakalan jarang diangkat pembahasan tentang Ayah kalau lagi kumpul bareng.

“Teh, ini berantakan banget kamarnya!” Bunda udah nggak kuat pas lihat lebih lanjut bagian dalam kamar.

“Nggak papa, Bun,” Yujin memasukkan spidol warna ke tempat semula. “Kak Minju nggak marah kok.”

Bunda menghela napas sambil berpikir. “Ya udah si Kakak tidur di kamar kamu, ya?”

“IH JANGAN!”

Minju menatap Bunda sambil menggeleng pelan. Tapi Bunda nggak ngerti maksudnya apa.

“Kasian atuh masa Kakak tidurnya bareng kertas-kertas begitu,” sahut Bunda setenang mungkin. “Sana, Kak.”

“JANGAN!” Yujin buru-buru berdiri di depan pintu sambil merentangkan kedua tangannya. “Ini mau Teteh beresin, tunggu sebentar.”

Bunda masih maksa, “kelamaan, Teh. Emang kenapa, sih?”

Yujin memperkuat pertahanannya. “Pokoknya jangan!”

Akhirnya Bunda yang ngalah. Minju ngajak Bunda buat keluar kamar dan nunggu di meja makan dengan motif perut Minju yang udah keroncongan daritadi.

Berakhirlah mereka duduk manis di sana sambil menyantap sop ayam buatan Bunda, nggak lupa juga ngobrolin ini-itu.

“Teteh tuh galaknya turunan Eyang Akung banget haduh,” Bunda memulai pembicaraan. “Tapi emang anaknya jarang marah.”

Minju mengangguk setuju, “Eyang tuh dulu sakit, Bun?”

“Iya, tapi Bunda dulu nggak tau apa-apa,” Bunda menelan sisa kunyahan dimulutnya. “Jadi sekarang mau cari tau juga udah telat.”

Minju manggut-manggut paham. Namun, obrolan ringan mereka tiba-tiba terhenti karena suara jeritan dari dalam kamar.

“Bundaaaa!”
“Di sela pintu kamar Kakak banyak cicak gepeng mati!”

Oke, udah jadi rahasia umum kalau Yujin benci banget sama hal-hal jorok kayak gitu. Bahkan dia bisa nangis kejer dan langsung mandi sampai pake sabun lebih dari dua kali.

Berlebihan? Enggak, bagi Yujin itu masih kurang.




🎬

“Minhee,” panggil gadis bertopi biru itu. Mata bulatnya berbinar, menatap kagum rel kereta api yang terletak beberapa langkah dibawah mereka. Minhee masih fokus pada ponselnya, “kenapa?”

“Lo pernah mikir gak sih gimana rasanya loncat pas kereta lewat?”

Minhee nggak kaget sama sekali. Nggak juga berpikiran bahwa Yujin berniat bunuh diri. Ia mengangguk, “pernah.”

“Sakit nggak sih?”

Bodoh. Pertanyaan bodoh macam apa ini?

“Ya sakitlah oon!” semprot Minhee kepalang jengkel.

Yujin cuma ber-oh ria. Tapi otaknya masih membayangkan separah apa rasa sakitnya? Melebihi rasa sakit terkena sayatan dijari karena sehelai kertaskah? Atau jari kaki yang nggak sengaja kepentok ujung kaki meja? Nggak ada yang tahu.

“Sesakit apa sih emang?” lanjut Yujin mengutarakan rasa ingin tahunya.

Minhee berdecak. “Sesakit cicak gepeng yang mati karena kegencet pintu.”

“SIALAN SAKIT BANGET ITU!”

“Ya lagian lo aneh-aneh aja. Gue mana tau sesakit apa!” ucap Minhee.

Yujin yang masih setinggi 150 cm kala itu hanya mengedikkan bahunya acuh. Untuk anak SMP sepertinya, pemikiran semacam ini bukannya wajar-wajar saja? Yakin deh, pasti hampir sebagian dari umat manusia pernah seenggaknya mikirin hal gila kayak gitu. Atau, mungkin begini,

Berpikir rasanya tertabrak kendaraan di jalan raya.

Terjun dari lantai tertinggi sebuah gedung.

Menyayat pergelangan tangan dengan benda tajam atau menembakan diri dengan pistol seperti pada film.

Ayo mengaku, mungkin diantara kalian ada yang pernah kan?

***

A/N :

Uwaw nyeleneh banget otakku ini. Mohon maaf ya atas ketidaknyamanannya. Terima kasih sudah mampir! ^^

The Things What Makes You ThinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang