Mencari Generasi Harapan Negeri

90 3 0
                                    

Siapa sangka, remaja yang  tampak imut dan penurut ternyata bisa berbuat nekad. Bahkan, pelaku kriminal tak hanya dilakoni orang tua. Kalangan muda pun kerap menjadi aktor utama tindak kemaksiatan. 

Ada remaja jadi agen narkoba. Remaja terlibat prostitusi online. Membuat video mesum. Remaja tergabung dalam grup L6BT dan fedofilia. Yang terbaru, ada segerombolan remaja merampok toko pakaian untuk pesta malam tahun baruan.

Yang biasanya dikenali dari remaja adalah sosoknya yang cuek. Suka berkata ceplas-ceplos. Terbiasa nge-lem. Biasanya disebut generasi micin. Dianggap makin gaul bila semakin berani melakukan hal ekstrem. Ada lagi generasi matcha kini yang dibilang sangat aktif, suka bergerak. Tapi, tidak jelas yang dilakukan, cenderung mementingkan diri sendiri.

Aneh-aneh saja istilah-istilah yang ada. Seperti itulah trend kekinian. Gencarnya serangan budaya dan peradaban asing tengah menghadang setiap orang. Tidak terkecuali, juga menggepur  kaum muda. Remaja jadi serba bebas, karena liberalisme. Menurutkan segala kemauan dan serba boleh, karena hedonisme.

Bingung menentukan hal baik dan buruk dialami remaja. Masih ragu dalam hal terpuji ataukah tercela. Karena tidak ada standar yang jelas. Mencontoh para idola, artis atau selebgram, malah mengaburkan dan membuat samar kebaikan. Malahan terjerumus membebek gaya artis dan selebritis yang mewah.

Pada masa remaja memang sangat rentan mengalami goncangan. Mereka mengalami perubahan fisik, hormon, dan lingkungan yang berbeda dari masa anak-anak menuju dewasa. Penuh dengan semangat dan kemauan besar.  Namun, ibarat gelombang air laut yang tak terkendali, emosi labil bila tidak diarahkan pada hal positif malah berakibat negatif. Ditambah kemajuan teknologi tanpa filter dan standar, turut memicu kenakalan. Sehingga, kini negara terancam krisis remaja pembawa harapan.

Pandangan kehidupan saat ini menganut sistem sekuler-liberal yang berasal dari Mabda Kapitalisme. Di mana Mabda (jalan hidup) ini memandang bahwa nilai-nilai yang tertinggi dan terpuji bagi manusia adalah nilai-nilai yang ditetapkan manusia itu sendiri. Sehingga dalam memandang arti kebahagiaan pun hanya sekadar memperoleh sebanyak-banyaknya kesenangan jasmaniah semata. Manusia pun bebas berbuat semaunya menurut apa yang diinginkan untuk meraih kebahagiaan. Tingkah laku atau kebebasan pribadi sangatlah diagungkan.

Lalu, kenapa hal negatif bisa menimpa remaja? Kerusakan generasi merupakan buah dari sekuler-liberal yang menjauhkan agama dari kehidupan. Hal inilah yang menggerus nilai-nilai agama dalam keseharian. Di semua level baik individu, masyarakat dan negara, termasuk juga kaum muda.

Pertama, lemahnya keimanan dan ketakwaan pada diri remaja. Menjadikannya individu yang mudah putus asa dan galau. Bingung ketika menentukan pilihan dan menghadapi permasalahan. Sehingga mudah stres, lalu mencari selingan pada perilaku nyeleneh atau menyimpang.

Kedua, masih kurangnya perhatian. Baik dari keluarga dan masyarakat belum mampu berperan menangkal virus liberalisme. Keluarga yang berantakan, broken home. Orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya. Masyarakat pun mulai tidak peduli hal yang menimpa orang lain. “Asal jangan diriku dan keluargaku yang kena masalah” pemikiran ini yang berkembang di masyarakat.

Ketiga, masih abainya negara dalam melindungi generasi. Kita lihat berbagai tayangan dari media cetak, online, maupun televisi yang tidak berniat mendidik dengan bebas leluasa berseliweran. Hal ini semestinya perlu negara yang benar-benar menjalankan perannya mengurusi umat seperti yang diamanahkan syari’at.

Jadi, remaja tanggung jawab siapa? Membuat remaja menjadi baik adalah tanggungjawab kita bersama. Inilah yang telah dijelaskan Islam. Islam solusi segala problematika, termasuk problematika yang menimpa generasi kita saat ini. Islam telah mengatur tentang urusan negara sampai memperhatikan urusan para remaja. Sebab aturan Islam komplit, harus dipakai secara menyeluruh, istilahnya kaffah.

Melahirkan generasi yang shalih dan muslih menurut Islam mengharuskan ditempuh dengan tiga pilar, yaitu keluarga, kontrol masyarakat, dan negara. Peran orang tua dalam menbentuk kepribadian dan ketakwaan pribadi anak-anaknya. Lewat pola pengasuhan dan pendidikan yang mendekatkan ketaatan Allah SWT sehingga takut berbuat dosa. Masyarakat juga turut menjagakan lingkungan agar baik dengan dakwah, amar ma’ruf nahi nunkar. Dan terakhir, negara yang memberlakukan sistem Islam. Di antaranya melalui sistem pendidikan Islam, sistem sosial syar’i, dan memantau media agar mendukung lingkungan taat syariat.

Teringat sebuah kisah, pada saat dulu suasana negara tengah mengalami krisis ditimpa paceklik dan kekurang pangan, Khalifah Umar bin Khattab mengajak beberapa pejabat negara untuk berdiskusi, seraya berkata, “Cobalah kalian berandai-andai.” Seorang pejabat dengan semangat berkata, “Aku ingin ruangan besar ini dipenuhi dengan emas untuk keperluan negara.” Yang lain menimpali, “Aku berangan-angan rumahku penuh dengan permata lu’lu’ah yang kusumbangkan untuk membela agama.”

Kalau aku ingin kaya raya. Kekayaan itu untuk membantu kesejahteraan rakyat,” kata seorang pejabat yang lain. Kemudian Khalifah pun tersenyum, lalu berkata, “Kalau aku, ingin kemunculan kembali generasi seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abi Hudzaifah dan Abu Ubaidah bin al-Jarah.”

Di situasi krisis tersebut Khalifah Umar, justru mengutamakan kemunculan sumber daya manusia, para pemuda unggulan. Mu’adz bin Jabal yang disebutkan oleh Khalifah Umar tadi adalah seseorang yang Rasulullah saw memujinya: “Mu’adz bin Jabal adalah orang yang paling tahu tentang halal dan haram di kalangan umatku.” Adapun Salim Maula Abi Hudzaifah, Khalifah Umar pernah memujinya: “Kalau Salim masih hidup, maka dialah yang layak menjadi penggantiku.” Sedangkan Abu Ubaidah, beliau adalah ahli strategi perang yang teruji dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Rasulullah pernah memujinya: “Setiap umat mempunyai seorang “amin”, Abu Ubaidah bin al-Jarah adalah “amin” umat Islam. Yang menarik adalah Mu’adz bin Jabal dan Salim Maula Abi Hudzaifah, mereka berdua masih belia. Bahkan, Mu’adz bin Jabal dinobatkan menjadi hakim agung negara, ketika masih berusia18 tahun. Luar biasa, bukan?

Begitulah, kita tentu sangat menginginkan hadirnya kembali generasi seperti mereka. Generasi pembawa harapan untuk membagun negeri ini menjadi lebih baik. Para remaja yang bertakwa dan mampu berkarya untuk  umat manusia. Tidak lain, hal ini bisa kita usahakan dengan turut berjuang mengambil peran bersama.[]

Dimuat di: Shalehah.net

Pena Muslimah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang