08 • Hampir Usai

575 31 0
                                    

-Happy Reading-
________

Ponsel Rania tiba-tiba berdering. Layarnya menyala otomatis yang memperlihatkan panggilan masuk dengan nama kontak Sinsin Forever. Tapi sayang pemilik ponsel tersebut sedang berada di dapur bersama yang lainnya dan tidak membawa ponselnya.

Disisi lain Sindi berdecak kesal. Mengapa Rania tidak mengangkat teleponnya. Apakah Rania marah karena ucapnya saat disekolah tadi?.

"Ran, Angkat dong!." Air mata Sindi tiba-tiba mengalir tanpa ia sadari. Tubuhnya gemetar, dia sedang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan ceritanya sekarang.

Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat pada Rania. Setidaknya jika Rania memang sedang marah dan tidak mau mengangkat teleponnya mungkin dengan pesan singkat ia bisa membacanya.

'Ran, aku butuh kamu. Aku mau cerita sama kamu'
'Ran, kenapa kamu tidak mengangkat telfon ku? Apa kamu marah?'
'Aku minta maaf🥺😭 aku tidak bermaksud'
'Ran, aku butuh kamu' -pesan terkirim.

Sindi melempar ponselnya hingga hancur berkeping karena Rania tidak mengangkat teleponnya ataupun membalas pesannya. Sindi mendongakkan kepalanya berharap air matanya tidak jatuh. Tapi bagaimana pun posisinya air matanya tidak bisa terbendung dan menetes dengan sendirinya. Seketika ia memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya agar saat ia menangis suaranya tidak terdengar.

Sesekali Sindi menarik rambutnya. Sakitnya tidak tertahan. Dadanya sesak, terlihat dari pundaknya yang naik-turun.

Tiba-tiba ia teringat dengan beberapa film yang pernah ia tonton. Dimana ia menangkap pemahaman bahwa memotong nadi bisa menyelesaikan semua masalah dalam sekejap.

Seketika ia berdiri gelagapan mencari sesuatu yang mungkin bisa berguna untuk memotong nadinya. Ia sedikit frustasi saat tidak ada satupun benda tajam yang ia lihat di kamarnya. Tapi ada satu benda yang menarik perhatiannya. Gelas bening yang berada di atas nakasnya seperti memanggil dirinya untuk mendekat. Dengan cepat Sindi meraihnya dan melemparkannya hingga suara itu menggema di dalam kamarnya.

Sindi terlihat tersenyum bahagia melihat pecahan gelas yang berserakan dilantai kamarnya seperti ia sedang melihat berlian berlimpah didepannya. Segera ia mengambil serpihan yang menurutnya paling tajam.

Matanya berbinar melihat serpihan itu. "Mungkin aku tidak akan mendapatkan surga, tapi setidaknya aku tidak akan sesakit ini lagi." Ucapnya. Dan segera menancapkan serpihan itu di pergelangan tangannya. Ditekan perlahan kemudian ditarik paksa hingga darah mengalir deras di pergelangan tangannya.

Tiba-tiba dari luar seseorang mencoba untuk membuka pintu kamarnya. Katrina dan Surya orang tua Sindi mencoba untuk membuka pintu kamarnya yang terkunci.

"Sindi! Sindi buka pintunya! Kalau tidak papa akan mendongkrak pintunya!" Teriak Surya tapi percuma Sindi sudah terkapar bersimbah darah didalam kamarnya.

"Sindi, buka Sindi!" Teriak Katrina. "Dobrak aja, Pa." Titah Katrina pada Surya.

Dan Surya mematuhinya. Dengan cepat ia mendobrak pintu itu. Hanya dengan dua kali dorongan pintunya terbuka. Kamarnya gelap seperti menggambarkan kehidupan Sindi yang suram.

Katrina dan Surya berlari masuk dan mendapati Sindir yang sudah tidak berdaya. Katrina dengan sigap membekam mulutnya sendiri karena terkejut melihat. Sangat tidak disangka ini akan terjadi.

You Are My Everything ✓ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang