Ketahuan

12.1K 1.4K 26
                                    


El menuangkan segelas teh hangat pada Oscar. Saat di suguhkan, dahi Oscar mengerut samar. Dia tak biasa meminum teh, begitu pun El.

"Teh?"

"Iya, teh. Gue minum ini biar pikiran gue cemerlang." El tersenyum palsu. "Akhir-akhir ini pikiran gue mampet, ide juga gak dapet. Mungkin karena sering minum alkohol jadinya sekarang gue coba minum teh." Tentu bohong, karena kehamilannya
Semua bir, minuman bersoda, alkohol, anggur, sampaigne ia usir dari lemari pendingin. Kulkasnya hanya berisi minuman sehat, aayut, serta buah tak lupa daging segar yang ada di frezer.

"Jadi loe ke sini karena butuh ketenangan dan gak mau di ganggu." El mengangguk seperti anal anjing agar sang shabat sekaligus ayah dari bayinya mengerti lalu pergi angkat kaki, "Bukannya loe malah gak dapat ide apapun. Di sini, sepi tak ada yang bisa di jadikan inspirasi."

"Siapa bilang? Bahkan kebun liar bisa menghasilkan inspirasi. Sawah hijau juga." Mata El berputar-putar, lalu berpikir mencari alasan logis untuk menciptakan inspirasi. "Pohon perdu juga bisa, taman gantung lalu..."

"Iya gue lupa inspirasi bisa di peroleh dari mana aja. Projek apa yang loe garap sampai segitunya?"

"Fashion show ke Paris. Yah itu pencapaian terbesar dari hidup gue. Paris, kota mode pusat dunia ada di sana. Surga bagi desainer!" Sungguh El ingin ke tempat itu tapi bukan tahun depan juga. Masih lama, kemampuannya masih perlu di asah dan di akui. Walau di Indonesia, desainnya cukup terkenal.

"Gue tahu, itu impian loe. Oh ya gue bawain makanan kesukaan loe. Mana dapurnya? Kita bisa makan sama-sama." El menunjukkan ruangan paling belakang. Oscar semakin mengernyit heran ketika melihat dapur El. Dapurnya tak semewah apartemen El yang lain tapi di sini lengkap dan juga ada mesin cuci.

"El...!!" Teriaknya dari arah dapur.

"Iya kenapa? Loe gak nemu piring?"

"Bukan, loe nyuci sendiri?" El gelagapan, semenjak hamil dia tak suka pewangi dari laundri. Ia memilih pewangi sendiri yang beraroma lembut atau buah-buahan.

"Iya... gue gak suka keluar rumah. Buang-buang waktu kalau ke laundri."

Oscar tersenyum, entah setan apa yang merasuki El selama di Amerika sampai sahabatnya berubah jadi mandiri. Sedang El merasakan perasaan tak enak apalagi kini hidungnya menangkap sesuatu. Aroma yang paling menjijikkan, aroma amis.

"El, kau punya nasi kan?" Ternyata firasat buruknya benar. Oscar kemari membawa kepiting, udang, kerang serta lobster yang di bumbui saus Padang. El menyukainya tapi tidak untuk sekarang. "Ayo makan El."

Wajah El jadi pucat pasi ketika melihat hidangan yang ia hindari sudah tertata rapi di atas meja makan. "Gue sengaja beli banyak."

Seberapa kuatnya El menahan mual serta peningnya ketika di hadapkan dengan bau menyengat dari masakan laut. Ujian nyidamnya di mulai kini, di hadapan Oscar El harus bersikap baik-baik saja serta berakting sehat wal afiat. "Ini belinya di langganan kita kan?"

"Iya, gue minta porsi jumbo." Saat saus mulai berkilatan di atas piring saji, satu sama lain mulai di campur dan bau cabe yang tajam serta bawang mulai tercium. Normalnya El akan merasakan lapar karena makanan di depannya menggoda lidah namun reaksi tubuhnya jadi terbanding terbalik. Aroma enak itu meracuni otak lalu kepalanya di serang pening. Perutnya mulai memperbanyak produksi asam lambung penyebab mual. "Gue ambilin, loe suka kepiting, kerang dan juga lopsternya kan?"
El menarik nafas dan mengelus perutnya pelan berharap janinnya mau di ajak kerja sama, "Di makan El." Piring yang berisi penuh makanan sudah terpampang tepat di bawah hidungnya. Akhirnya pertahanannya rubuh, El buru-buru menutup hidung dan berlari ke kamar mandi.

"Hoek... hoek... hoek....!" El muntah, karena menahan mual terlalu lama jadi muntahnya agak banyak. Oscar pun tak berdiam diri. Ia mengikuti El dan mengurut tengkuknya.

"Loe sakit?"

"Iya,..."

"Gue ambilin minyak angin, ada kan di kotak obat?" El mengangguk lalu dengan keras kepala ia berusaha sehat dan berjalan keluar tapi naas, begitu mencium aroma hidangan laut. Ia muntah lagi.

"Hoek... hoek.... hoek..."

"Kenapa loe bisa sakit?" tanya Oscar yang kini sudah membuka penutup botol minyak angin lalu memberikannya pada leher belakang El.

"Gue kecapekan, mungkin stres juga karena ngedesain terus."

"Jangan terlalu terobsesi sama pekerjaan El gak baik. Lo masih muda, banyak jalan ke Paris. Gak usah terlalu ngoyo sampai ngorbanin kesehatan." Di nasehati seperti itu El menangis namun Air matanya berbaur dengan murahan serta rambut ikal El yang berantakan hingga Oscar tak menyadari kalau El sedih.

"Gue gak apa-apa, gue butuh tidur. Tolong loe buang semua makanan yang di atas meja atau loe bawa pulang juga gak apa-apa." Oscar merasa dari tadi El berniat menyuruhnya pergi. Biasanya sahabatnya ini kalau ketemu pasti akan bercerita panjang lebar tentang pekerjaan, New York atau desainnya yang di puji kritikus. El banyak berubah atau memang keadaan perempuan ini sedang sakit merubah sedikit perangainya.

"Gue akan buang makanan itu kalau loe gak suka. Tapi gue tetep di sini, gue khawatir loe lagi sakit." El tahu semakin dirinya memaksa maka Oscar semakin curiga. Lebih baik dia biarkan saja lelaki gay ini merawatnya. El tak punya tenaga ekstra untuk berdebat.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Pijatan Oscar begitu enak hingga mengantarkan El tidur menjemput mimpi. Oscar terdiam lama di atas tempat tidur. Mengamati wajah sahabatnya ketika tidur sungguh cantik bagai seorang putri. Kenyataannya El itu putri, putri terbuang serta terabaikan.

El berasal dari keluarga berada tapi tidak membuatnya bahagia. Dulu saat ibu El masih hidup, mungkin El merasa sempurna. Tapi kesempurnaan itu hilang sekejap mata berganti dengan kehancuran.

Pandangan Oscar melirik ke arah meja samping ranjang. Di atasnya ada beberapa butir obat, tak hanya satu jenis tapi banyak. Kekhawatiran hinggap, takut-takut El mengidap penyakit serius hingga menepi ke pinggir kota.

Dengan lancang, Oscar menfoto obat-obatan itu lalu mengirim fotonya kepada Diego. Kawan gaynya yang berprofesi sebagai dokter umum di rumah sakit.

Oscar mondar-mondar berjalan di depan ranjang El menunggu kawannya membalas pesan. Tentu ia harap-harap cemas, pikirannya berkecamuk. Takut kalau ternyata sang sahabat umurnya tak lama lagi.

Tring

Pesan Diego masuk. Namun Oscar di paksa membulatkan mata ketika membaca isinya. El tidak sakit, tubuhnya normal namun ada mahluk lain yang kini berbagi nutrisi dengannya di dalam perut. El hamil.

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang