Aku, kamu bukan kita

10.6K 1.4K 50
                                        


El tak bisa menghindar atau menjauh. Anak yang ada di kandungannya selalu terikat dengan Oscar. Setelah ketahuan bergumul dengan laki-laki. El bingung harus bersikap bagaimana. Cemburu jelas namun ingin menunjukkannya El merasa tak berhak.

"El, maaf soal kemarin di Club. Aku gak tahu kamu datang." Maaf? Ck bukan itu yang El butuh. Namun mengharapkan Oscar membalas apa yang di rasakannnya. Layaknya menunggu hujan di musim kemarau.

"Santai aja. Gue pergi karena agak kaget, takut ganggu juga. Gue pernah bilang kan kalau loe bebas jalanin hubungan sama siapapun. Termasuk juga kalau mau pacaran." El meneguk ludah sebelum meminum jus jeruknya yang sengaja Oscar buatkan.

"Tapi gue udah komit buat jagain loe dan gak menerima hubungan dengan siapapun." Janji Oscar pada dirinya sendiri yang El kira sebagai beban. Tanggung jawab yang El tentu sulit terima. Janinnya menempel dengan El, batinnya bertaut dengan hati El. Janinnya bahagia dengan perhatian Oscar begitu pun El.

"Loe berhak bahagia."

"Di saat loe menderita dan kesakitan mengandung anak gue. Apa gue masih berhak bahagia?" El diam, ia di dera pening. Sebenarnya apa mau Oscar tapi bukan begitu sebetulnya apa maunya? Oscar terlalu baik berperan sebagai bapak dan suami. Di saat malam pria ini sudah sibuk di Club. Pada pagi hari pria ini masih sempat membuatkannya sarapan. Walau mereka tak bersama, Oscar selalu menghubunginya. Menyakan kabar, sudah makan belum, sedang Dimana? Atau apa yang El perlukan. Kalau begini terus lama kelamaan hati El yang hancur. "Terima lamaran gue El, nikah yuk?"

Emosi El tersentak, ia benci jika laki-laki ini membahas masalah nikah setelah bergumul dengan pria. Maka El maju, dengan cepat ia menubruk tubuh Oscar padahal pria itu masih memakai apron. Mendaratkan ciuman bertubi-tubi serta panas. Di lumatnya bibir Oscar tanpa ampun.

Oscar tak menolak, ia memeluk erat pinggang El agar tak jatuh. Walau perut El yang buncit agak menghalangi mereka. Ciuman El turun ke arah leher Oscar yang di hiasi jakun. Menjilatinya dengan gairah yang menggebu-gebu. Namun ciuman El berhenti, lalu mata mereka saling bertemu. Gairah El langsung redup.

"Dia gak berdiri kan?" Pegangnya pada bagian tubuh Oscar di bawah pusar. "Loe gak pernah berhasrat sama cewek. Dan nikah bukan soal buku aja atau cap negara. Ada hasrat gue yang gak mungkin loe penuhi." Oscar diam, namun tersentak saat El menepuk ringan pipinya. "Jangan bicarain nikah lagi, karena pernikahan itu cuma nyiksa gue."

El melepas tangan Oscar yang membelit pinggangnya. Ia berbalik pergi meninggalkan Oscar yang masih terpaku di tempat. Tak terasa pipi El basah. Rasanya ini lebih buruk dari pada di tolak atau di campakkan Alex. Sedang Oscar sadar jika menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar tapi tak pernah memikirkan hasrat El sebagai perempuan yang ingin di cintai, di sayang, di sentuh secara sensual. El berhak bahagia, mendapatkan pria normal. Memikirkan anaknya memanggil ayah pada orang lain, membuat hati Oscar berdenyut nyeri. Ia tak rela.

☔🌸🌸🌸🌸🌸🍇🌸🌸🌸🍇

"Jadi loe itu super beruntung, bisa bunting anak Oscar." El hanya melirik sadis asistennya. Hamil diluar nikah bukan suatu keberuntungan tapi kesialan yang hakiki. Tince sedang memberi label harga pada baju, sukses mendapat lemparan bolpoin. Tince sudah biasa di siksa, apalagi status dia sebagai buruh.

"Bisa diem gak sih lo!!"

Ponsel Tince berdering,membuat pemiliknya melongok kepo. Nama Oscar yang di hiasi bunga mawar tertera jelas pada layarnya yang lebar serta datar. ''ck....makin durjana aja sih. Kirain dapat pesan dari babang tampan eh tenyata cuma jadi kurir doang!'' Tince menyesal kenapa takdir tuhan begini amat padanya. Maknya dulu makan apa ,Tince pingin jadi perawan bukan mahluk setengah siluman air. '' El, Oscar nanyain tuh .Loe lagi ngapain? Gue jawab apa?''

"Jawab aja gue sibuk ngurus butik." Huh jawaban alakadarnya. Kenapa sih Oscar mau ngajakin El becocok anak, Elnya aja punya penyakit bikin kesel akut. Tapi Tince emang hobinya bikin keonaran. Suruh ngetik apa malah dia mengarang bebas.

Ponsel Tince berdering lebih kencang. Oscar menyukai apa yang ia karang. " Iya?"

"---------"

" Udah gak apa-apa kok. Udah di seka ama air anget dalam botol." El yag sedang melihat gambar kereta bayi dalam ponsel. Dahinya mengerut tajam. Apa gerangan yang tengah banci itu bahas? " Elnya udah tidur gak bisa di ajak ngobrol."

"-------"

"Eh loe gak usah repot-repot ke sini....hallo...hallo." Sambungan telepon dari Oscar terputus sepihak. Tince sebal, kan masih pingin ngobrol ngalor ngidul sama Oscar. Kapan lagi bisa begini.

"Loe kenapa?" Wah Mak Tiri bertanya. Tince sampai meneguk ludah. Mau jawab jujur otw di gantung di pohon toge .

"Hehehhe tadi Oscar telepon. Nanyak  loe sehat atau gak. terus gue  jawab kalau  lo sakit perut." Tince masih merasa tak punya  dosa malah tersenyum.

"Tince.......!!!!''

🐇🐇🐇🐇🐻🐻🐻🐇🐇🐇🐇🐇🐇🐣

Karena tahu kalau keadaan  El baik-baik saja. Oscar memutuskan untuk mengajak  El jalan-jalan tanpa mengajak si biang kerok Tince. Namun setelah hanya berdua saja. El berubah acuh dan lebih banyak diam. Apa keterdiaman El ada hubungannya dengan hormon kehamilan ?

Oscar bingung mau mengajak  El  kemana. Pasalnya sahabatnya itu tak tertarik dengan  tempat yang ia  sebutkan. Jadilah  mereka malah berbelanja di supermarket, berbelanja semua kebutuhan El.

"El...lo mau buah yang mana?"

"Terserah! Ambil saja buah yang menurut lo baik buat gue. Bukannya lo yang biasanya nyiapin makan pagi, siang dan malam gue." El sudah muak di urusi mulai dari gaya pakaian, jam tidur, makan serta di larang keras menyalakan rokok ketika BAB atau di larang menyentuh alkohol bahkan soda. Dia bukan lansia, Demi Tuhan El masih berusia 25 tahun.

Banyak yang berubah dari El mulai dengan nada bicara yang tak bersahabat serta El banyak menutup mulut. Seolah-olah jadi perempuan penurut tapi Oscar merasa kehilangan sahabat. El hidup dengan kemauannya sendiri seolah lenyap. Yang tersisa adalah El perempuan membosankan dan tak enak di ajak bicara atau sekedar berunding.

"Gue ambil beberapa mangga, jeruk, kiwi, apel, anggur dan pisang." Oscar memenuhi keranjang belanja mereka dengan buah, daging, sayur, bumbu, rempah dan beberapa makanan kering. "Loe mau susu rasa apa?"

"Gue agak mual kalau minum susu."

"Gue ambil susu rasa coklat."

Entah kenapa berjalan bersama Oscar mendatangkan rasa kesal, marah, muak, senang, benci, bahagia campur aduk jadi satu. Menimbulkan sebuah rasa sesak yang tak cukup di tampung dada. El ingin menangis, ingin menjerit, ingin menyuruh Oscar untuk berhenti peduli padanya namun semuanya hanya terkunci di dalam bibir tanpa dapat terucap sepatah kata pun. Melihat gerak laki-laki itu yang begitu teatenw mengurusnya , begitu peduli serta mencurahkan semua perhatian serta kasih sayang pada bayi mereka yang belum lahir membuat El jadi tak tega atau El sebenarnya terlalu takut kehilangan pria ini. Tanpa El sadari jika beberapa bulan ini, ia begitu tergantung pada Oscar. Mendapatkan perhatian penuh yang ia tak dapat dari Alex atau bahkan Adrian.

El harus bersikap tegas. mengambil jarak, hidup mandiri serta menjauh. Ia tak bisa membayangkan, ini baru beberapa bulan belum hitungan tahunan. apalagi jika mereka memutuskan membesarkan anak mereka bersama-sama.

''Car, Apa nanti kita bisa makan dulu lalu bicara?'' Oscar yang memilih blender menengok ke arah El yang sudah berwajah serius.

"Bisa El, dia udah laper ya?" tanya Oscar lembut sambil membelai perut El. Mendapat sikap hangat seperti itu, El malah menepis tangan Oscar dengan pelan. Namun kebersamaan mereka harus di ganggu oleh seorang perempuan yang baru datang.

"Mas Panji?"

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🍇🍇

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang