Lucas duduk termenung memperhatikan adik kesayangannya itu terbaring tidak berdaya di rumah sakit.Badanya lemes seolah anak perempuan itu emang kehilangan jiwanya.
"Lucas!!"
"Mom..."
Mama Lucas langsung lemes begitu lihat gadis kecilnya terbaring dengan alat alat rumah sakit yang menempel di sekujur tubuhnya. Air matanya turun sangat deras.
"Ya Tuhan, Pia kenapa???? Lucas, sebenernya ada apaa?"
Lucas yang liat Mamanya nangis tersedu-sedu itupun gak kuat nahan tangisnya juga. Dia beneran merasa gagal jadi kokoh. Sesekali dia bertanya kepada dirinya sendiri 'kenapa bukan gua aja sih? yang berbaring disitu? Kenapa harus pia?'
"Pia!!! Bangun nak, kamu kenapa? Ayo bangun piaaa."
Mama Lucas menyerah, hatinya sakit. Wanita paruh baya berdarah china itu akhirnya terjatuh di lantai. Lucas tau betul mamanya wanita kuat. Banyak hal pahit yang telah beliau alami namun tidak setetespun air matanya turun. Tapi kali ini, melihat gadis kecil berharganya yang biasa nakal dan merengek tidak jelas berada dalam keadaan seperti ini membuat hatinya bergetar dan pelupuk matanya memanas.
"Mom, maafin Lucas yang gak bisa jagain pia."
"Kenapa? Adek kamu kenapa? Apa yang terjadi sampe Pia harus berbaring di ruangan ini?"
"Aku juga gak tau. Semua berlalu begitu cepet. Yang Lucas tau, Pia udah gak sadarkan diri tadi." Bohong Lucas. Karena gak mungkin juga cowok itu bilang apa yang sebenernya terjadi. Bisa bisa dia di sunat dua kali + di kebiri.
Segala macam pikiran buruk datang dan pergi mengganggu otak Mama Lucas. Mata beliau beneran sembab. Bibirnya memerah begitu juga dengan hidung dan daerah di sekitar mata. Maklum T zone mamanya Lucas emang sensitif karena muka beliau termasuk ke oily face. Meskipun rutin menggunakan toner, serum dan essence, kalau keadaanya begini tetap saja akan memerah bak iritasi.
Tok..Tok...Tok
Dokter dan beberapa suster datang sambil bawa beberapa alat suntik dan kertas kertas yang Lucas juga gak tau isinya apa.
"Maaf mengganggu waktunya ibu. Tapi ada yang perlu saya sampaikan." Ucap Dokter itu.
Mama Lucas dengan sekuat tenaga melawan rasa lemesnya dan berdiri walau harus pegangan sama Lucas.
"Anak saya kenapa dok? Gak sakit yang mematikan gitu kan? Anak saya bisa sembuh kan?"
"Ibu, harap tenang. Jangan ribut disini karena itu juga akan menggangu pasien."
Lucas ngelus punggung mamanya. "Tenang dulu ma."
"Jadi begini Ibu Lucy, Menurut hasil pemeriksaan saya dan hasil dari Laboratorium. Lumpia Amanda tidak mengalami gangguan apapun pada fisiknya. Secara medis kondisi Lumpia baik-baik saja. Kasus seperti ini bukan kasus pertama, meskipun sangat jarang terjadi. Dalam medis saya dilarang mengucapkan kalimat seperti ini, tapi, menurut pengalaman saya, menangani pasien seperti ini. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang diganggu oleh makhluk lain. Pengobatan tidak membantu seratus persen, tapi kekuatan Doa masih bisa diandalkan. Yang tabah ya Ibu dan Kokohnya."
"Gimana? Makhluk halus? Gimana, gimana? Saya gak paham sama ucapan dokter!!!"
Dokter tadi diem aja, dia tau omonganya sama sekali tidak masuk akal. Tapi hasil medisoun mengatakan demikian.
Tes darah, tes urin, dan segala macam medical checkup sampai Rontgen dan USG sudah dilakukan. Namun hasilnya, semua normal.
"Maaf, kami tau ini sangat tidak masuk akal. Tapi memang begini adanya."
"Saya bayar rumah sakit ini bukan buat denger omongan seperti itu loh??!!! saya bayar supaya dokter bisa kasih solusi dan pengobatan untuk anak saya!!"
"Maaf ibu, kami janji akan melakukan yang terbaik."
Lucas emang keliatan tenang dan diam aja walau sorot wajahnya samar-samar kelihatan khawatir.
'Renjun, lo harus bayar semua perbuatan lo!'
–
"Aku ada dimana?"
Gadis kecil dengan setelan baju tidur itu mengikuti sosok perempuan dengan mata yang hampir copot serta belatung di sekitar lubang matanya.
"Kerumah aku. Nanti kita main pia."
"Tapi kamu siapa? Kamu kan bukan temen aku. Kamu bau darah, kamu banyak ulat kecil kecilnya di tubuh kamu. Jangan deket deket nanti mama aku marah sama aku!"
"Aku ted. Engga papa kok pia. Berani kotor itu baik. Hayuk, main yuk." Perempuan itu tersenyum sehingga bibirnya yang robek makin keliatan robek.
"Nanti mama aku nyariin. Aku gak mau, aku mau pulang aja."
"Pia dengerin aku deh. Mama kamu engga akan nyariin. Kamu ikut aja, mama kamu sering kan marah sama kamu pas kamu gak beresin mainan kamu?"
Pia mengangguk.
"Itu tandanya mama pia benci sama pia. Mama pia menyesal tau udah ngelahirin pia. Di hati mama pia cuman ada kokoh pia. Mama pia benci pia."
Mendengar apa kata ted, pia menangis. Hatinya terasa sakit walau dia tidak begitu paham dengan ucapan ted.
"Kenapa mama aku jahat?"
"Karena pia lahir. Gimana kalau sekarang pia tinggal nya sama aku aja? Sama kekuarga aku. Selamanya."
Pia berhenti menangis. Tadinya ketika melihat ted pia merasa ngeri, tapi sekarang pia sudah terbiasa. "Eum, pia ........"
—
"Demi Tuhan????!"
Perempuan itu mengangguk.
"Ck!" Renjun berdecak. "Terus gimana?"
Di lantai dua rumah yang dari luar terlihat gelap dan hanya ada satu nyala lampu yang terlihat dari depan karena berasal dari kamar Renjun, ada sebuah keributan kecil. Apalagi kalau bukan karena insiden penculikan jiwa.
"Setau aku, kalau pia udah betah tinggal di alam itu, jiwa pia gak akan balik."
"Tanggung jawab lo apa?"
"Renjun, aku gak bisa sepenuhnya bantu kalau aku belum tau juga penyebab kematianku. Karena arwah yang gentayangan di bumi punya masa aktif. Kalau abis waktu aku di sini tanpa menemukan Jawaban. Maka aku akan menghilang jadi abu."
"Terus?"
"Semua emang salahku. Maaf."
Renjun yang biasanya kesel dan emosi banget liat arwah cewek yang selalu ngikutin dia dan ganggu dia kali ini sedikit merasa gak tega ngeliat cewek itu nangis.
"Lo tidur aja di kamar gua. Gua keluar. Jangan nangis. Berisik. Gua harus cepet tidur dan bangun pagi buat ke sekolah lebih awal dan bantu nyari identitas lo."
Cewek itu menghentikan tangisnya dan menatap bingung Renjun yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Mau nutup pintu dia.
"ekhm. ... Se... Ekhm, selamat malam."
Brakk.
Pintu kamar ditutup.
"Selamat malam juga Renjun." Jawab cewek itu pelan.
Renjun yang ternyata masih berdiri di depan kamarnya sambil masih megang kenop pintunya terkekeh kecil.