Bab 7: Night Call

44 5 1
                                    

"Pak, burger sama jus pukat satu ya pak."

"Eh, neng Nara. Bentar ya neng!"

Nara mengangguk pelan sambil menunggu. Suasana kantin sangat ramai. Bahkan tidak ada lagi tempat duduk yang kosong.

Nara menyapu pandangannya ke seluruh kantin, semua sibuk dengan urusannya. Ada yang bernyanyi di pojok kantin, sebagian berjoget ria tanpa peduli rasa malu. Nara tersenyum tipis, sesederhana itu mereka bahagia.

"Neng ini pesanannya." Suara pak Adi, pemilik kios di kantin membuat Nara terkesiap, lalu mengambil selembar uang dua puluh ribu lalu menyerahkannya ke pak Adi.

"Makasih ya pak." Nara lalu keluar dari kantin.

Ia berjalan ke arah lapangan, lalu duduk di bangku panjang di pinggir lapangan. Ia meletakkan burger di sampingnya, lalu meminum jus pukat miliknya.

Hari ini, Fia ada rapat perkumpulan osis, memang Fia salah satu anggota kepengurusan osis di sekolah. Jadi ia tidak bisa pergi ke kantin bersama Nara.

"Sendiri aja, Nar?"

Nara hampir saja tersedak karena pertanyaan orang yang kini sudah duduk di sampingnya.

"Lo ngagetin banget, Langit"

Langit terkekeh, membuat matanya hanya berbentuk garis. Nara yang menyaksikan itu membuang muka, tidak mau lebih lama lagi hanyut dalam ketampanan sosok Langit.

"Lo kenapa sendiri? Biasa bareng Fia." Langit lalu meminum air mineral yang dibawanya.

"Lo kenal Fia?"

Langit menoleh, lalu terbahak.

"Siapa yang gak kenal Fia Alisha? Cewek berpenampilan lugu tapi preman. Yang anak osis itu kan?"

Nara mengangguk, "Preman? Maksud lo?"

"Lo masa gatau sih, dia tuh kalo pas upacara galak banget. Kemaren temen gue yang brandal banget pernah ngejek dia karena berpenampilan nerd. Lo tau gak? Selesai upacara temen gue tangannya di pelintir sama Fia, sampe dibawa ke dukun patah." Langit kembali terkekeh, entah mengapa saat bersama Nara ia selalu ingin tersenyum.

" Pemegang sabuk hitam lagi. Makanya gak ada yang mau deket sama dia."

"Padahal, Fia tuh anaknya baik banget, lucu lagi. Makanya jangan usik diemnya seseorang." Nara menasehati, sambil tersenyum.

Langit menunduk, menatap ujung sepatunya. Tak mau melihat Nara, bukan karena merasa bersalah karena sudah membicarakan Fia. Tapi karena tidak sanggup berlama-lama melihat senyum Nara. Nyatanya senyum Nara lebih memabukkan daripada senyumannya.

"Lo kok nunduk gitu, Lang? Maaf ya." Nara menyentuh lengan Langit, merasa bersalah.

Langit langsung menegakkan tubuhnya saat jari Nara menyentuh lengannya.

"Nar, bo--boleh minta tolong ga?"

Nara menaikkan sebelah alisnya.

"Jangan grepein tangan gue gini. Gue jadi gak fokus." Ucap Langit memerah.

Nara yang sadar langsung menjauhkan tangannya dari Langit.

Langit terbahak, melihat ekspresi Nara yang begitu lucu. Nara yang ditertawai melayangkan pukulan ke perut Langit.

"Lo kecil-kecil gini pukulannya sakit juga." Ujar Langit berhenti tertawa.

Ia lalu mengacak gemas rambut Nara, kemudian berlari ke lorong kelas dengan tawa yang menghiasi wajahnya.

"RAMBUT GUE BERANTAKAN!"

∆∆∆∆

Malam telah tiba, Nara tengah berdiri di balkon kamarnya. Menikmati udara dingin yang begitu menusuk kulitnya. Ia menengadah ke atas. Gelap.

Nara!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang