Matahari (Spc. for Ihsan)

1.3K 92 34
                                    

Aku tersenyum melihat kakak sedang berberes bajunya. Seseorang yang membantunya-Firman namanya-sibuk mengomel tak jelas. Ia sesekali memaki kakak dengan kasar hingga beberapa kali diberi tatapan tajam oleh kakak. Tentu saja, ada aku alasannya. Kakak atau ayah atau kakakku satunya saja tidak pernah bicara seperti itu di depanku. Tapi aku tidak peduli, aku paham juga kenapa kak Firman marah-marah. Aku kalau bisa mengumpat ya pasti sudah mengumpat.

"Fa, mau bantuin, diem aja, atau keluar?" tanya kakakku ketus. Dia hanya ingin mengusirku, aku tahu.

Jadi aku menggeleng dan memilih berdiam sembari melipat rapi baju-baju kakak.

"Fa, lu kalau mau ngegaplok abang lu, gaplok aja, gue bantuin." kata kak Firman yang lalu diberi protes dari kakak.

Aku hanya tertawa canggung. Aku toh tak sesupel kakak. Sulit rasanya bicara pada orang asing. Meski kak Firman hitungannya bukan orang asing. Aku kenal dia sejak kecil kok. Hanya saja dia laki-laki, jadi tetap susah bagiku bicara padanya.

"Diem men."

"San, denger ya, lo harus balik ke pelatnas, ga peduli gue."

Aku hanya mendengar dengusan kakakku. Sejenak aku membelai jersey kakakku yang tengah kulipat. Mataku panas, aku melirik sejenak pada kakak dan kak Imen yang sedang beradu argumen. Lalu mataku berkelana melihat kamar yang entah sejak kapan ditempati kak Ihsan. Dan sekarang ia akan berberes, membersihkan barangnya dan membawanya pulang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak ingin dia pulang ke rumah.

Aku memasukkan jersey terakhir kakakku ke dalam koper. Bahkan lemarinya sudah kosong layaknya baru. Dia akan pulang, bersamaku.

"Kak, sudah selesai." cicitku pada kak Ihsan.

Dia tersenyum lalu mengacak puncak kepalaku yang tertutup jilbab coklat yang ia belikan tahun lalu. Tangan kirinya lalu mengambil kopernya dari sampingku. Dan tangan kanannya menjulur untuk kuraih. Aku meraihnya, menggenggam hangat tangannya.

"Gue pergi dulu, Men." Dia pamit pada Firman yang menatap kakak dengan sengit.

"Mending pamit lo sama anak-anak." kata kak Imen acuh. Namun demi apa, aku melihat matanya berkaca-kaca. Dan aku tahu, kak Imen pun turut sedih.

"Siap! Makasih ya Men buat selama ini, sukses buat lo." ucap kakakku dengan ceria. Namun tangannya mengerat di genggamanku. Kakakku yang selalu kuat. "Ayo Fa."

Dia menyeretku, membawaku keluar. Aku membungkuk sebisaku pada kak Firman untuk berterima kasih. Lalu aku mengikutinya, memandang punggung kakakku yang selalu menjadi tembok besar untuk kulewati.

Aku sempat menutup pintu kamar kakakku, namun aku langsung menabrak punggung kak Ihsan. Dia berhenti mendadak membuatku mencicit sakit. Aku berusaha melihat apa yang membuat kakak berhenti.

Kak Anthony.

Aku tak begitu kenal, tapi aku tahu dia. Dia dan kakakku berteman, dan sering bersama. Hanya saja aku tak begitu mengenalnya seperti layaknya kak Imen atau kak Panji.

"Ting..."

"Sukses buat lo, San."

Kakakku tersenyum. Lalu ia dan kak Anthony berpelukan. Aku melihat wajah kak Anthony yang bersedih di pundak kak Ihsan. Tangannya lalu menjulur pada kepalaku dan mengusapnya. "Tidak apa-apa." ucapnya padaku. Aku hanya mengangguk dan menghapus air mataku.

"Titip salam buat anak-anak yang lain." kata kak Ihsan.

Kak Anthony mengangguk dan tersenyum sedikit. "Lu kalo pergi jangan pagi-pagi gini, anak-anak yang lain sedih noh, Rumbay tuh, anak ayam lo." Dan keduanya tertawa.

ClusterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang