Di hari ke sembilan puluh enam mereka resmi berpacaran, pada akhirnya Ahsan menerima tawaran yang diutarakan Hendra dengan malu-malu di bulan ke-dua anniversary mereka. Hendra dengan seluruh wajahnya yang memerah dan gestur kaku, serta tangannya yang gemetaran memegang kue bertanya apakah Ahsan berkenan tinggal bersamanya, di rumahnya. Tetapi kala itu Ahsan menunda dengan halus.
Menunda. Bukannya menolak.
Ia saat itu berpikir banyak hal. Mengenai uang sewa kostannya yang belum lunas, barang-barangnya yang mungkin butuh berbulan-bulan untuk dikemas, bahkan mengenai Taufik yang nanti akan merengek-rengek manja karena Ahsan pindah secara mendadak. Intinya saat itu belum siap secara lahir meskipun batinnya telah siap sedia dari jauh-jauh hari sejak mereka resmi berpacaran.
Hari ini, Hendra membawa mobil bak terbuka berwarna putih dengan bekas gesekan di sana sini. Menurut penuturan Hendra, mobil ini adalah milik keluarga Kido yang biasa digunakan untuk mengangkut beras dan sejenisnya. Sejujurnya, barang-barang Ahsan tak begitu banyak. Barang paling besar mungkin juga hanya kasur lantai asal palembang yang digulung saja bisa ia bawa dengan motor. Tetapi Ahsan tidak mengeluh dan menghargai usaha Hendra yang susah payah meminjam mobil dari Kido.
Ahsan baru saja membayangkan bagaimana ibu Kido akan bingung setengah mati karena mobil satu-satunya raib entah kemana.
Sepanjang perjalanan, Ahsan tahu perasaan Hendra gembira dan meluap-luap bahagia. Kekasihnya tak menampakkan sedikit raut di wajahnya, tetapi bertahun-tahun mengenal Hendra, ia tahu bagaimana isi hati lelaki itu tanpa harus melihat wajahnya. Dia bersenandung tanpa lirik mengikuti lagu romansa 90an yang melegenda dengan senyum kecil yang lebar dan telunjuknya yang mengetuk-etuk setir mobilnya seirama.
Ahsan menikmati lalu lalang kendaraan di depan dengan perasaan begitu bahagia. Ia tidak menyangka akan diterima begitu lapang dada dan penuh cinta. Meskipun notabenenya, dia hanya akan mulai hidup menumpang menyusahkan Hendra. Tapi ia diterima dengan kasih sayang yang meluap-luap hingga dadanya sendiri terasa penuh tidak berdaya.
.
.
.Hendra menjelaskan seluk-beluk lingkungan tempat tinggalnya. Ada nenek-nenek yang tinggal tepat di sebelahnya, nenek yang pandai memasak dan selalu membaginya untuk Hendra. Lalu kemudian seorang bujang muda kaya raya di sebelah kirinya yang selalu berangkat pagi pulang malam dengan setelan formal necis yang tidak pernah mau menyapa. Hendra juga menceritakan sebuah keluarga ramai dengan lima orang anak yang setiap hari merongrong Hendra untuk bermain.
Ahsan tersenyum lalu membuat catatan di kepalanya untuk mengunjungi satu persatu tetangga Hendra.
Kemudian cerita mereka berlanjut pada kisah perjuangan Hendra untuk mendapatkan rumah itu sebagai miliknya. Dia mencicil setiap bulan untuk sepuluh tahun. Rumah itu dahulunya milik sebuah keluarga, namun karena desakan ekonomi, rumah itu dijual dengan segera. Hendra mendapatkannya dengan setengah harga.
Baru empat tahun Hendra menempati rumahnya, jadi butuh enam tahun lagi untuk melunasi semuanya. Ahsan berkelakar akan membantu membayar setengah cicilannya. Kekasihnya itu tertawa dan Ahsan pura-pura marah lalu memukul lengan Hendra dengan main-main.
Keduanya tahu jika upah Ahsan sebagai pegawai biasa belum sanggup untuk membantu setengah cicilan rumah Hendra. Kostannya saja menunggak, bagaimana ia berkomitmen membantu setengah cicilan Hendra?
Jadi Ahsan berpikir untuk membayar listrik dan biaya kehidupan sehari-hari demi meringankan beban kekasihnya.
Hendra tidak menolak. Dia menerima usulannya tentang pembagian kebutuhan rumah. Hati Ahsan menghangat. Rasanya ia seperti akan tinggal berdua bersama suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cluster
FanficCluster: Gugusan, kumpulan. Sebuah book yg berisi kumpulan one shoot random otp maupun pair boyslove tepok bulu angsa lainnya 💙