"Liat deh Win, cakepan mana nih warnanya?"
Winny melirik malas pada rekan satu kamarnya yang sedang berceloteh ria bersama gawainya. Gadis bergigi gingsul itu tengkurap di kasur hotel yang sudah tak karuan bentuknya, sedang memilah gincu yang akan dibelinya nanti dari toko online. Ini sudah jam delapan malam. Seharusnya mereka sudah tidur untuk tenaga bertanding esok. Oke, cuma Winny saja, kalau Melati sih begadang juga tidak masalah, meski kata bang Rhoma ga boleh. Tapi kini keduanya masih terjaga dengan alasan yang berbeda tentunya.
Melati terjaga untuk berburu diskon malam. Sedangkan Winny...ia terjaga karena gelisah yang menggelayutinya. Bukan Winny berlebihan atau bagaimana, tapi ia sungguhan tak bisa memejamkan mata.
"Kak Mel, serius, aku lagi bingung." rengek Winny pada partner berbagi kamarnya.
Melati menghela napas lalu menaruh ponselnya dan menatap Winny yang terduduk memeluk bantal di atas kasur. "Udahlah, biasa aja Winny."
Winny cemberut. "Enak banget ngomongnya, mbak Mel kapan ngerti heran."
"Astaga." Melati memutar matanya bosan. "Winny, ini udah ga bener, gue udah saranin ya, biarin aja pikiran dan hati lu itu ngalir kayak semburan air toilet hotel. Paham? Semua ini udah sia-sia dari awal, ga ada yang bisa diusahain, oke?"
"Oke, oke." Winny mengangguk-angguk. Ia lalu merebahkan diri di kasur putih hotelnya. Memandang langit-langit putih keemasan yang elegan. Menerawang seberapa jauh ia bisa menempelkan nasehat dari Melati.
Sementara itu Melati menatap prihatin pada Winny. Pun ia pernah melewati masa seperti Winny. Yah, mungkin lebih normal. Maksudnya sih yah begitulah, Praveen itu memang menyebalkan, sedikit bodoh, jorok, dan sebagainya. Tapi lelaki itu baik dan membimbingnya dengan sangat baik. Gadis jelang remaja mana yang hatinya tak berantakan jika dia jatuh saja akan di sapukan obat merah dengan lembut dan ditiupi penuh perhatian. Untung saja itu hanya gejolak hormon pubernya. Jika benar ia berkencan dengan Praveen, oh, Melati tak akan segan putus sekarang juga.
Di lain sisi, Winny pernah bersama dengan Akbar yang notabene seusia dan bisa dengan mudah berlabel sahabat. Kalau saja ini terjadi saat ia masih bersama Akbar, tentu Melati akan pasang headband dan banner 'pantang menyerah dapatkan Akbar', sayang, yang ini tidak boleh.
Tapi Melati juga tidak ingin membuat Winny depresi. Oke, ia berlebihan, tidak sih, Winny tak selembek itu. Tetap saja kan, Melati tak ingin Winny kenapa-kenapa.
"Tapi Win, ngucapin ulang tahun itu ga harus karena lu gimana-gimana, gue juga ngucapin ke bapak ibu kok, itu tanda kita sayang."
"Jadi, bisa kita balik ke topik gincu? Mana yang bagus?"
.
.
.Winny gugup. Ya bagaimana tidak. Beberapa rekan seperjuangannya sudah berguguran dahulu. Rinov/Pitha dan Praveen/Melati. Demi Tuhan, ia baru 21 tahun, belum ada setahun dipasangin dengan Tontowi Ahmad. Dan sekarang mau tak mau ia harus menang untuk menyelamatkan muka negaranya. Setidaknya harus ada Mixed Doubles yang menuju Perempat final, melanjutkan tradisi kata mereka. Lawan hari bisa dibilang belum sekelas Yuta/Arisa, tapi tetap saja, ini pertandingan, segalanya bisa terjadi dengan tanpa alasan jelas.
Lebih dari itu, hari ini, hari yang spesial. Hari ulang tahun Tontowi Ahmad, partnernya. Dan Winny belum memberikan apa-apa. Haduh, bertemu saja malu, apalagi mengucapkan selamat ulang tahun. Winny akan pingsan sebelum sampai di kalimat terakhir. Ia berhenti mondar mandir ketika pintu kamarnya dibuka. Ada Melati. Yang kini menatapnya dengan wajah keheranan.
"Lu kok masih disini? Pantes dicariin bang Owi."
Muka Winny memanas. Lalu dengan segera mengambil tas raketnya dengan tergesa dan segera melangkah tanpa sepatah kata. Melati hanya menghela napas sembari mengangkat bahunya tak peduli. Ada banyak yang barang harus ia rapikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cluster
FanficCluster: Gugusan, kumpulan. Sebuah book yg berisi kumpulan one shoot random otp maupun pair boyslove tepok bulu angsa lainnya 💙