Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Bab 3

145K 10.1K 437
                                    


Bab 3

Jim tidak berhenti menatap tajam ke arah Kania, saat Kania baru saja dipindahkan ke ruang perawatan. Dokter dan suster yang memeriksa baru saja keluar, meninggalkan Jim hanya berdua dengan Kania.

"Maafkan aku," lirih Kania yang saat ini sudah menunduk, tanpa berani menatap Jim.

Dokter mengatakan bahwa keadaan Kania saat ini sudah baik-baik saja. Termasuk bayinya. Meski begitu, Jim dan Kania tidak boleh menganggap remeh penyakit asma Kania yang kadang kambuh. Karena saat Kania kambuh, bayinya juga secara otomatis kekurangan oksigen. Hal itu tidak boleh terjadi berulang kali karena bisa berakibat fatal.

Kania tahu bahwa Jim sangat protektif terhadap bayinya, hal itulah yang membuat Kania takut, jika Jim marah mendengar kenyataan tersebut.

"Di mana inhaler milikmu?"

"Mungkin, tertinggal di kedai."

"Ceroboh sekali! Kamu pikir itu mainan yang bisa ditinggal di mana saja?!" serunya keras.

"Aku tidak bermaksud meninggalkannya." Ya, karena bukan hanya inhaler-nya, tapi tas dan seluruh isinya tertinggal di tempat kerja. Ingat, mereka pergi meninggalkan tempat kerja Kania dengan cara dramatis tadi.

"Tapi barang sialan itu tertinggal di sana!" Lagi, Jim berseru keras. Ia memijit pangkal hidungnya "Aku tidak percaya, bahwa selain bodoh, kamu juga tolol," hinanya dengan kejam.

Kania mulai menangis. "Aku sudah minta maaf," ucapnya dengan terisak.

"Maaf tidak menyelesaikan keadaan," pungkas Jim, "dan berhenti menangis, aku muak melihatnya. Kamu bukan anak kecil lagi!"

Kania tahu bahwa dia bukan lagi seorang anak kecil. Namun, apa yang dilakukan Jim benar-benar menyakiti hatinya. Kenapa Jim menyalahkannya? Ia juga tak ingin asmanya kambuh. Ia juga tak ingin kehilangan bayi mereka. Kenapa Jim bersikap seolah-olah hanya lelaki itu yang menjadi korban di sini?

***

Sepanjang hari, Jim tak beranjak dari tempat duduknya. Matanya tak berhenti mengamati Kania, takut jika perempuan itu kembali kambuh. Hal itu membuat Jim mengutuk dirinya di dalam hati.

Jim tidak pernah merasakan ketakutan seperti tadi siang, saat melihat Kania tak berdaya dengan wajah pucat seperti kehabisan napas. Jim tak suka mengingatnya. Karena itu, ia merasa tak bisa beranjak dari tempat duduknya sedetik pun.

Matanya juga seakan terpatri pada Kania, tubuh wanita itu sedang meringkuk memeluk perutnya sendiri. Tampak tenang karena sedang tertidur pulas. Dengan spontan, Jim mengulurkan tangan dan mendaratkan tangannya ke perut Kania.

"Kamu harus kuat," bisiknya nyaris tak terdengar. "Kalian harus kuat." Lagi, kali ini bahkan lebih pelan dari sebelumnya.

***

Keesokan harinya, Kania keluar dari kamar mandi saat Jim baru masuk ke ruang inap Kania. Tubuh Kania sudah segar, mengenakan pakaian yang dibelikan Jim kemarin. Pakaian tersebut tampak melekat pas di tubuhnya dan membuat Jim menatap penampilan Kania dari ujung rambut, hingga ujung kaki.

Sedangkan Kania juga sama, ia mengamati penampilan Jim yang selalu tampak keren setiap saat. Tadi, lelaki itu pamit pergi, mengurus administrasi rumah sakit karena jam satu nanti mereka harus segera ke bandara dan langsung terbang ke Bali. Dan kini, lelaki itu sudah kembali dengan penampilan berbeda.

Mengenakan kemeja santai yang melekat pas di tubuhnya, dipadukan celana pendek, dan juga sepatu. Jim benar-benar tampak keren dan membuat siapa saja terpana saat menatap ke arahnya.

Jim menuju ranjang sambil membawa beberapa paper bag di tangannya. Lalu mengeluarkan isinya. Ada tas perempuan, sandal, topi pantai lucu, serta sebuah coat yang ukurannya lebih besar dari tubuh Kania.

"Kemarilah!" perintahnya.

Kania mendekat. Dia duduk di pinggir ranjang karena Jim memintanya. Tanpa diduga, lelaki itu berlutut di hadapannya dan memakaikan sandal berpita cantik di kakinya. Jim mengikat pita-pita tersebut, hingga kaki Kania tampak begitu indah saat menggunakan sandalnya.

Jim lalu memberikan coat dan barang lainnya untuk Kania. "Pakai itu di pesawat nanti karena nanti akan dingin. Barang-barangmu yang tertinggal di tempat kumuh itu sudah kupindahkan ke dalam tas ini."

"Terima kasih."

"Sekarang, ayo pergi!"

"Jim!" Panggilan Kania membuat Jim menghentikan langkah. "Aku takut, ini pertama kalinya aku naik pesawat."

"Jangan takut, aku ada di sisimu," jawabnya sembari mengeratkan genggaman tangannya.

***

Saat makan siang di lounge, Jim mengambil banyak sekali makanan untuk Kania. Kania senang, ia memang lapar karena makanan di rumah sakit sejak kemarin tidak bisa menggugah seleranya. Apalagi saat Jim juga mengambil aneka kue dan makanan pencuci mulut. Mata Kania berbinar-binar dan itu tak lepas dari tatapan mata Jim.

"Habiskan, penerbangan kita masih lama," ucap Jim sembari melirik jam tangannya.

Kania tak menghiraukan karena perempuan itu sedang menikmati makan siangnya. Jim hanya mengamati sembari sesekali menikmati kopi. Saat keduanya sedang duduk santai menyantap hidangan di hadapan mereka, saat sebuah panggilan mengalihkan pandangan Kania dan Jim.

Jim berdiri seketika, saat dua orang seusianya datang menghampirinya. Keduanya melakukan tos seperti biasa, ketika mereka masih kuliah dulu. Itu adalah Fredy dan Jeremy.

"Alex, Alex, Alex, What's up, Bro?" Fredy bertanya.

"Bajingan." Jim mengumpat pelan. Dia memang sangat tidak suka dengan nama tengahnya, bahkan Jim berencana menghapus nama sialan itu dari namanya. Namun, teman-teman dekatnya malah menjadikan nama itu sebagai olokan untuknya.

"Gue kira lo udah sampai sana." Jeremy kali ini yang membuka suara.

"Gue banyak kerjaan, jadi enggak bisa lama-lama."

Jeremy dan Fredy melirik ke meja Jim, pandangan mereka jatuh pada Kania yang sedang asyik menikmati buah dan es krimnya.

"Duduk aja, kalian mau berdiri di sana seharian?" Dengan santai Jim kembali duduk di sebelah Kania.

Kania sendiri mencoba mengabaikan dua orang keren yang duduk di hadapannya. Jim tampak tak ingin mengenalkan mereka, jadi ia lebih memilih menikmati makanannya daripada memperhatikan tiga orang yang sedang asyik bercengkerama.

"Gue kira lo sama Brenda. Di mana dia?" Jeremy bertanya.

Pertunangan Jim dan Brenda memang sempat ramai dibicarakan karena pertunangan itu terjadi bersamaan dengan pesta ulang tahun perusahaan Ayah Jim. Berbeda dengan pernikahan Jim dengan Kania yang hanya diketahui oleh segelintir orang.

"Mungkin sudah duluan." Jim menjawab cuek.

Fredy dan Jeremy sejak tadi saling sikut, sembari sesekali menatap Kania. Hal itu tak lepas dari tatapan mata Jim.

"Kenapa?" tanya Jim yang merasa tak suka dengan tatapan mata Jeremy dan Fredy pada Kania.

"Dia siapa? Kuat banget makannya." Jeremy bertanya.

"Dia makan buat dua orang, jadi abaikan saja. Anggap kalian enggak lihat." Jim menjawab dengan santai, tapi cuek.

"Dua orang? Lagi hamil maksud lo? Suaminya mana? Dia sama lo?" Fredy bertanya.

"Suami?" Jim balik bertanya.

"Ya, orang hamil, kan, pasti ada suaminya, adek sepupu lo, ya? Karena seingat gue ... lo, kan, enggak punya adek kandung. Padahal tadi pengin gue ajak kenalan, cantik, sih." Fredy yang memang sedikit cerewet dan banyak bicara akhirnya tak bisa menghentikan cerocosan mulutnya.

Mendengar hal itu, wajah Jim mengeras seketika. "Dia bukan adek gue. Dia istri gue, jadi jangan coba-coba meliriknya," desisnya tajam.

-TBC-


Marriage By MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang