#3

153 10 0
                                    

Suatu ketika ada satu hari aku dan dia tanpa berkabar, aku fikir ia sedang sibuk. Dan aku pun saat itu juga sedang ada pekerjaan yang memang deadline. Jadi, seharian hanya fokus di kerjaan.
Karena aku sudah cemas, aku mencoba untuk meninggalkan pesan. Menanyakan bagaimana kabarnya di hari itu. Namun ternyata hanya centang. Nomornya sedang tidak aktif.

Hingga di jelang pejam, lampu baru saja aku matikan lalu ada pesan masuk. Dia telah membalasnya. Ketika aku buka, pesan itu hanya berisi kalimat "maafkan aku ya mas".

Aku sempat bingung, sebenernya ada apa.
Aku fikir kita tidak sedang bertengkar, begitupun aku juga tidak merasa ia melakukan kesalahan.

meminta maaf dalam keadaan baik-baik saja itu sangat membingungkan. Selalu ada kebenaran yang di sembunyikan. Entah kebenaran yang menyakitkan, atau kebenaran yang menyenangkan.

Aku mencoba menenangkannya, dan meyakinkan dia untuk bercerita padaku.
Aku tahu, dia mengetik pesan dengan mata yang menangis. Aku sangat hafal, kalimat perkalimat yang ia ketik ketika sedang bersedih.

Ternyata benar-benar terjadi apa yang sejauh ini aku takutkan.
Ada lelaki yang sudah di pilih orang tuanya untuk di jodohkan dengannya. Ia bercerita dengan rasa ketakutan. Karena dia menerima lamaran itu karena paksaan dari orang tuanya.

Seketika aku terdiam.
Ada banyak tanya di dalam kepalaku.
"Kenapa harus terjadi". " kenapa harus sekarang"
"Kenapa harus menerimanya".
Namun aku tak mengucapkan kalimat-kalimat itu padanya. Karena aku sangat menjaga perasaannya.

Kita sama-sama belum siap menerima kenyataan ini. Kita seperti di paksa melakukan sesuatu yang tanpa keinginan kita sendiri.

Aku berusaha menenangkannya dengan menyembunyikan kesedihan ku. Dia mengubur rasa bersalahnya dengan terus meminta maaf padaku.

Segala macam cara sudah ia lakukan untuk membuat keluarganya mengerti. Namun nyatanya keras kepala dan keinginan kuat dari orang tuanya membuat ia pasrah.

Ya aku juga belajar menerima, belajar mengerti bahwa ini mungkin memang keputusan terbaik darinya.

Aku terus saja meyakinkan dia, bahwa apapun keputusan yang ia ambil, jangan ada satu orangpun yang bisa membuatnya merasa bersalah hanya karena ia menjalani hidup sesuai keputusannya. Termasuk aku.

Aku takkan membuatnya merasa bersalah karena ia telah meninggalkanku.
Itulah kenapa aku selalu berusaha terlihat  baik-baik saja di hadapannya.
Aku mencoba tersenyum saat melihat cerita kami berakhir, karena ia telah menerima lamaran orang itu.

Aku meyakinkan diriku sendiri, Bahwa barokahnya hubungan juga karena turut serta serta orang tua. Jika dengan ku ia takkan di restui, lalu untuk apa kita menikah jika akhirnya akan menyakiti hati kedua orang tua.
Bagaimanapun juga acara pernikahan yang turut serta melancarkan juga kedua orang tua.

Ya begitulah hidup, ada yang di satukan perasaan, juga ada yang di pisahkan keadaan.

Dan yang paling menyedihkan dari sebuah perpisahan adalah ketika ragamu sudah berjauhan, namun hatimu masih saling merasa berpelukan.

Aku percaya, bahwa dia akan bahagia. Bahwa aku akan segera merelakannya. Aku pasti bisa, aku pasti bisa tanpa dia.

Setiap malam aku selalu berdo'a, "Tuhan, tolong hentikan air matanya, tolong kuatkanlah batinnya yang harus membersamai seorang lelaki yang tak pernah ia temui sebelumnya, seorang lelaki yang tak pernah ia tahu seperti apa sikap dan sifatnya, tolong berikan ia kesabaran dalam menghadapi keinginan kedua orang tuanya.
Tolong berikanlah kelancaran dalam acara pernikahannya, tolong berikanlah kesehatan untuk semua keluarganya".

Tiap berdo'a, aku selalu meneteskan air mata. Dadaku terasa sesak. Mataku selalu basah.
Dan saat itulah aku mengerti, bahwa ketulusan itu sebenarnya berwarna bening. Menjelma air mata, tumpah ruah di pipi.

merelakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang