Fenomena Hijrah

33 7 4
                                    

Akhir-akhir ini fenomena hijrah menjadi pemandangan yang cukup mengundang perhatian.

Aku senang, kita semua seharusnya senang bukan, melihat hal ini? Melihat orang berbondong-bondong mengejar ustad kondang, ustad di masjid yang sering ngasih nasihat bijak, kadang kita malah tutup kuping, pura-pura gak tau kalau di masjid lagi ada kajian. Sambil kajian, tangan sibuk megang ponsel, niatnya mau ngerekam nasihat sang penceramah. Eh, gak taunya cuma direkam doang, pulang ke rumah juga gak pernah diputer ulang. Lama-lama memori ponselnya full, alhasil dihapus deh videonya tanpa sempat diputar ulang. Sementara, otak kurang bisa diandalkan, karena saat kajian, sibuk selfie sama squad, benerin gaya hijab, atau malah sibuk lirik kanan lirik kiri, siapa tau ketemu jodoh?!

Nah, ini. Aku seneng, dan seharusnya bener-bener seneng lihat orang berhijrah. Tapi, di sudut hatiku, ternyata masih ada ulat!

Jika saja hati itu ibarat daun, hatiku pasti sudah tidak sempurna bentuknya, karena telah digerogoti sang ulat.

Aku itu gak seneng kalau lihat orang berhijrah tapi ujung-ujungnya cuma sibuk pamer baju, sibuk sama model hijab nya, sibuk menyiapkan tas dan sepatu yang sesuai sama baju dan kerudung yang dipakai. Ada lagi yang pakai cadar tapi hobinya selfie berkali-kali terus diposting di sana-sini. Maunya apa sih?!

Aku itu gak seneng, kalau lagi kajian, orang-orang justru sibuk bikin status, ngapain? Ngapain coba? Biar orang sedunia tau kamu udah bertobat, udah berhijrah?

Apalagi yang hijrahnya biar dapat jodoh. Ya, alhamdulillah sih baik, daripada nyari jodoh di diskotik. Ya tapi, alasan apa pun selain karena Allah, itu rapuh. Gak akan bisa  menguatkan tekad kita. Hijrah itu butuh tekad yang kuat, karena siapa yang mengaku beriman, Allah pasti akan mengujinya, melihat apakah ia benar-benar beriman atau hanya ingin mengejar tujuan lain.

Aku itu gemes, tapi bukan gemes sama mereka, melainkan gemes sama diriku sendiri, rasanya pengen ngasih minum lem biar gak julid!

Seharusnya kan, aku sibuk mendoakan mereka agar iman mereka kokoh, agar niatnya ditujukan hanya untuk Allah, agar mengutamakan hal yang harus diutamakan, misalnya ketika kajian, ya kejar ilmunya, catat sebagaimana para pengejar ilmu yang lain. Kalau pun memang mau merekam, silakan bawa tripod, jadi tangan gak sibuk sama ponsel, hati dan otak fokus pada apa yang disampaikan ustad.

Aku gemes, seharusnya aku sibuk mengingatkan diriku sendiri untuk selalu berfikir positif kepada saudara sendiri, tersenyum ramah, bukan malah jutek karena gak seneng sama tingkah mereka. Dan seharusnya aku lebih banyak berdoa untuk diriku sendiri agar Allah menguatkan imanku yang sebenarnya tidak lebih kokoh dari mereka, seharusnya aku sibuk ngoreksi kesalahanku sendiri, bukan membombardir kuman di sebrang lautan, sementara kesalahanku yang lebih besar daripada seribu gajah bunting aku tidak menyadari.

Ya Allah, aku hanyalah ulat, tolong aku ya Allah, bimbing aku untuk berubah menjadi lebih baik. Tunjukkan kesalahan-kesalahanku agar aku sibuk mengoreksi diriku saja.

Jember, Jumat mubarak,
16 Agustus 2019

Metamorphosis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang