Tanda Prihatin

20 0 0
                                    

Dedicated to my greatest supporter
AdeevaMyeshaa

Adiva menatapku dengan tatapan sendu tanda prihatin. Disentuhnya singkat tanganku yang lembab karena airmata yang berulang kali kuseka di sepanjang jam kuliah.

Entah kenapa aku bisa jadi curhat sama dia. Padahal gadis berhijab modis ini baru saja kukenal. Harusnya mungkin aku curhat dengan mereka, para karibku. Namun tak semudah itu untuk berbicara tentang hal ini kepada Selly, Janice, Diba dan Alifa.

Pertama, aku malu kalo mereka tahu bahwa aku belum move on dari Zayn. Bayangkan, sudah mau dua tahun aku belum juga bisa melupakan kisah tak serius itu. Sekarang bahkan malah jadi beneran. Pasti mereka akan menertawakanku.

Kedua beban ini sungguh berat, harus dilepaskan. Lebih berat daripada rindu yang dikatakan Dilan agar jangan dilakukan oleh Milea. Bayangkan, sudah berbunga-bunga karena diajak makan siang oleh cowok yang punya tempat di hatiku, ternyata hanya untuk bertemu muka dengan pacarnya yang galak itu.

Ingin kuteriaki Zayn. Bertanya mengapa pacarnya tiba-tiba datang di tengah rencana makan siang kami. Ingin kubentak pacarnya untuk menjelaskan bahwa akulah yang punya janji makan siang dengan cowok itu.

Namun tiba-tiba aku sadar bahwa mungkin Zayn memang sudah membuat janji baik denganku maupun dengan Hannah. Uh, males banget nyebut namanya.

Saat itulah aku merasa amat malu. Ingin rasanya aku berubah jadi transparan dan tak terlihat lagi oleh sekelilingku. Namun berhubung aku nggak punya ajian panglimun alias ilmu menghilang, terpaksa aku kabur manual pake kaki. Meninggalkan massa yang mulai berkerumun di kantin. Tujuanku ke kelas, dengan perut merana, mata panas dan dada membara.

Sambil kembali membeningkan otak, kucoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Berawal dari pagi hingga sore ini, rasa yang kuturuti seharian ternyata berakhir di arena permainan hati.

Masih kuingat tatapan Zayn. Penuh harap ketika menghampiriku, bingung ketika pacarnya datang, dan... apa iya ada kesedihan di situ ketika aku pergi? Lah, apa yang diharapkannya? Aku harus di situ terus, gitu, sambil mendengarkan omelan perempuan itu?

Pastinya aku harus pergi. Seinginnya aku untuk stay, aku nggak bisa. Aku nggak boleh, tepatnya. Karena aku merasa seperti orang ketiga, yang artinya perusak hubungan orang. Hina banget. Dalam hidupku yang baru akan duapuluh tahun ini, tak pernah aku bercita-cita jadi orang ketiga dalam sebuah hubungan.

Ya Tuhanku, Zayn itu bukan yang pertama tapi yang terlama. Dan walaupun aku suka padanya, aku hanya bisa berharap memilikinya. Iya, cuma berharap karena sudah ada seseorang di sampingnya.

Aku memang merasa bahwa beberapa hari belakangan ini seakan Zayn 'didekatkan' kepadaku. Namun aku tetap bertahan pada prinsip ketidakmungkinan. Tak mungkin, aku dan dia itu tak mungkin.

Sejak dosen masuk mataku sudah tak bisa melihat jelas karena genangan nelangsa. Kupilih duduk di pojok belakang sendirian. Untunglah keempat sahabatku nggak ada yang satu matakuliah denganku.

Sambil menatap hape dengan niat tak karuan, iya niat mau ngamuk ke Zayn di WA maksudnya, airmataku mulai jatuh satu-satu. Akhirnya tangan kananku harus bekerja keras mengepel wajahku dengan saputangan yang untungnya kubawa. Sampai akhirnya sebuah towelan halus membuatku menoleh ke samping kananku.

"Zara Karmela, kan?" gadis berjilbab merah muda yang tak terlalu kukenal dekat itu mengulurkan sesuatu di tangannya, kotak makanan.

Dengan enggan kuulurkan tangan menerimanya. Lalu box kue produksi kafe terkenal itu kuletakkan di hadapanku.

"Aku ultah..." tanpa menatapku yang sedang memandang dirinya dengan heran, ia duduk di sampingku.

"Adiva, kan?" kupaksakan seulas senyum, seraya mengucapkan terima kasih dan selamat ulang tahun.

"Dimakan, dong!" Adiva menunjuk makanan yang dibawanya dengan dagu.

"Hehe, iya. Aku memang laper..." sipuku sambil membuka kotak tersebut dan mencomot sepotong lemper.

"Saking lapernya sampe nangis?" Adiva menatapku sambil menahan senyum.

"Hah? Enggak!" aku tertawa getir sambil mengerjapkan mataku yang basah.

"Mau cerita?" tiba-tiba Diva menatapku serius.

Curhat ke orang yang tak kukenal biasanya sangat, sangat sulit buatku. Aku ini manusia introvert. Pula kisah ini sangat memalukan sehingga tak mungkinlah aku punya nyali untuk membaginya.

Tapi herannya, setelah mencerna semua pertimbangan di atas, semenit kemudian aku mulai bercerita pada Adiva. Meski terbata, namun semuanya kubuka. Si pendengar ini memang sangatlah penuh simpati. Hingga akhirnya semua kusampaikan dan rasa ini tak lagi membatu di dada.

Hhhh... lega!

"Udah lega?" tanya Diva sambil menyedot cairan kopi terakhir dari gelas plastiknya.

"Udah..." kusenyumi dia dengan hati yang memang sudah ringan.

Dan... kuliah berakhir. Ya ampun, aku sudah rugi nggak dengerin kuliah, plus dosa bikin orang juga nggak kuliah...

"Adiva," kubereskan stationeryku, "Aku makasih banget kamu udah mau dengerin aku. Tapi kamu jadi nggak dengerin dosen. Maaf ya..."

"Ah, nggak apa-apa, aku sih mengalir saja," jawab Adiva ceria, "Aku tadi lihat kamu kok sepertinya perlu ditemenin, dikasih makan, hahaha... jadi aku samperin. Gitu ceritanya."

Aku ikut tertawa sambil berjalan dengannya keluar dari kelas. Di seberang, di kelas yang juga bubar, kucari sosok itu.

"Nyari dia?" tanya Adiva sambil ikut jelalatan ke arah mahasiswa bubaran itu.

"Iya tapi nggak ada," aku berpaling dari pemandangan itu, "Mungkin sudah duluan. Kamu pulang naik apa, Div?"

"Naik motor. Mau ikut?" Adiva kini berjalan menuju lobi.

"Nggak usah, aku jalan aja. Kan deket, cuma nyeberang," kujawab sambil dalam hati tetap mencari Zayn.

Kenapa juga harus kucari? Aku sebenarnya harus kesal, kan, sama dia? Tadi iya, tapi habis curhat sama Adiva, rasa kesal itu menguap. Kucari kemarahan tadi di kepalaku, tapi secuilpun nggak ketemu.

Yang ada malah aku kangen sama dia. Dan aku berharap dia tetap memegang kata-katanya bahwa dia akan ada buat aku. Dasar pengkhianat diri sendiri!

"Zara...?" Adiva menepuk pundakku.

"Eh! Iya, Div....?" aku tersentak kaget mendengar panggilan yang membuyarkan lamunanku itu.

"Aku ke parkiran motor ya. Beneran nggak mau nebeng?"

"Iya, hati-hati. Nggak usahlah, nanti kamu malah jadi putar balik,"

Adiva mengangguk sambil melambaikan tangan tanda berpamitan. Kami berpisah di lobi, dimana aku segera melangkah menuju parkiran mobil yang mengarah ke gerbang fakultas.

Langkahku terasa ringan, seringan perasaanku. Perutku yang sudah terisi membuatku sedikit bahagia. Mantap aku melintasi area luas penuh mobil itu. Sampai netraku tertumbuk pada sebuah mobil warna hitam yang kukenal.

Sosok yang sedang kupikirkan, yang empunya kendaraan roda empat itu, berdiri di samping mobilnya. Ia terkejut, dan seperti kilat ia melesat menghampiriku.

Otakku bilang aku harus lari menghindar. Tapi hatiku minta aku menetap sebentar.

"Zara!" kedua tangan Zayn melakukan sesuatu yang tak terpikirkan olehku sebelumnya, merengkuhku ke pelukannya!

Tapi segera dilepas.

"Ayo naik! Aku antar kamu pulang!" tarikan di lenganku itu tak bisa kutolak dan tak sampai satu menit kemudian aku sudah duduk manis di sebelah bangku pengemudi.

Bersambung 🍰🥤

Tanda (Bisa dibeli di Apps LONTARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang