Tanda-Tanda Depresi

30 6 1
                                    

Kabur dari pertemuan dengan Zayn, aku keluyuran nggak jelas ke mal dekat kosanku. Pura-pura mau beli bajulah, sepatulah, dan sibuk nyari alasan ke mbak-mbak SPGnya untuk ngejelasin ketika aku nggak jadi beli. Maaf ya, Mbak.

Soalnya aku nggak mau buru-buru pulang ke kosan terus nangis sendiri di sana. Kan mendingan nangis di mal biar ada yang nanyain aku anak siapa, rumahnya dimana, tadi ibunya kemana...

Sorry, pikiran aku memang lagi ngelantur kemana-mana. Malah nggak bisa nangis.

Tapi aku kok lega ya?

Habis itu aku makan mi ayam bakso di pinggir jalan depan mal dan jam sembilan lebih dikit sudah menghempaskan diri ke tempat tidurku. Oh iya, sikat gigi dulu dong, sebelumnya.

Nggak pake nangis, nggak pake resah, nggak pake lama, nempel bantal langsung molor. Nggak ada tanda-tanda depresi. Kayaknya malah mimpi indah tentang Zayn deh, tapi aku nggak inget ceritanya.

Terus bangun pagi mau buang sampah, eh yang dimimpiin ada di depan pintu!

"Za!" panggilan tersebut membawaku kembali ke kamar.

Zayn masih di depanku, dan air di dalam teko listrik sudah berbuih-buih tanda mendidih. Buru-buru kutekan tombol off sambil nyari-nyari kain untuk memegang kuping teko yang panas banget.

Aroma kopi memenuhi kamarku ketika dua cangkir tadi kutuangi air panas. Kusorongkan salah satu cangkir kepada Zayn yang langsung mengangkat dan membaui uap panas dari cangkir itu.

God, nggak pernah aku setenang ini di depan Zayn.

"Aku panik kamu langsung nutup pintu." tahu-tahu Zayn membuka percakapan.

"Eh, aku bukan mau ngejepit tanganmu. Beneran!" tukasku merasa tak enak, "Aku malu baru bangun tidur!"

"Iya aku tau. Aku cuma takut kamu kayak dulu lagi, nggak mau ngomongan sama aku."

"Kenapa?" tanyaku sambil mulai berani menatapnya, mengharapkan dia mengatakan sesuatu yang kurindukan selama ini.

"Karena nanti aku nggak bisa numpang ke toilet kamu. Masak aku harus ngegedor kamar lain? Kan aku nggak kenal."

Ih, kirain mau bilang apa.

"Kamu dari jam berapa di depan kamarku?" tanyaku sambil menghirup kopi perlahan.

"Aku langsung datang ke sini setelah kamu pergi dari kafe. Eh, kamunya nggak ada. Aku ketok-ketok..."

Kubayangkan Zayn menyidak kamarku pas jam pulang kerja yang ramai itu. Mondar-mandir, ketak-ketok. Apa dia nggak diinterogasi sama bapak kos?

"Karena kamu nggak ada, aku pulang dulu, tapi aku udah niat nunggu kamu sampe datang. Jadi aku balik lagi jam sembilan lewat, bawa sleeping bag sama Autan. Eh, aku lihat lampu udah mati, aku miscall kamu nggak jawab. Ya aku tunggu sampai pagi ini, deh."

Aku melongo. Kayaknya dagu aku sekarang lagi nempel di meja belajarku kayak jawdropnya Jim Carey di film The Mask. Oww, Zayn sampai nginep di teras kamar kos aku untuk... untuk apa, nih, belom jelas.

"Zara, aku nggak mau kehilangan kamu..." ujar Zayn sambil meletakkan kopinya.

Aduuhhh... dia ngomongnya gitu lagi...

Mulai deh, jantung aku ikutan lomba lari jarak pendek. Deg-degan parah, nafas mulai ngos-ngosan...

"Kenapa nggak mau kehilangan aku?" tanyaku dengan suara serak. Nggak tau kenapa tiba-tiba kok begitu. Wajahku juga terasa menghangat. Mungkin mulai ganti-ganti warna lagi, nih.

Tanda (Bisa dibeli di Apps LONTARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang