Tanda Tak Percaya

18 1 0
                                    

Zara's P.O.V.

Naik mobil duduk di sebelah Zayn. Lagi.

Perasaanku masih campur aduk seperti tadi pagi. Namun kali ini ada satu rasa yang mendominasi. Tebak apa?

Marah?

Bukan.

Sedih?
Apalagi. Bukan lah!

Gak tau? Kukasih tau: penasaran.

Kenapa aku nggak marah? Kenapa ya, oh mungkin aku sudah maafin dia. Kok bisa? Parah lho, tadi bikin aku malu! Ya namanya juga sayang, hehehe. Ih! Itu tadi siapa sih, yang ngomong? Cubit diri sendiri!

Oh, terus kenapa nggak sedih? Yah, soalnya sekarang dia anterin aku pulang...

Terus tadi aku bilang penasaran, 'kan? Kenapa? Ya untuk yang ini aku juga masih mikir. Kenapa aku penasaran?

"Zara, aku mau ngembaliin selendang yang waktu itu kebawa..." suara Zayn mengangetkanku, membuyarkan lamunanku.

"Oke..." jawabku singkat sambil menatap ke luar mobil, ke jalanan yang hampir padat karena jam pulang.

"Ambil ke rumahku, ya?" tangan kiri Zayn terulur memindahkan persneling.

Aku hanya menoleh sekilas, mengiyakan lirih lalu kembali menatap ke luar. Tiba-tiba terasa rabaan pada tanganku.
Ketika kutoleh, jemari Zayn ada di atas tangan kananku. Secepat kilat digenggamnya tanganku, sebelum aku sempat menariknya kembali.

"Kok diem aja, Za?"

"Nggak apa-apa," jawabku singkat sambil merebut kembali alat gerakku itu, "Lepasin, Zayn!"

Zayn tersenyum sambil mengabulkan keinginanku. Dikebutnya mobil karena sejenak jalanan di depan kami kosong.

"Za, makan sama aku ya?" ujar Zayn tiba-tiba, "Aku yang bayar..."

"Nggak mau!"

"Lho, kenapa?" Zayn terkikik, entah kenapa aku kesal melihat tawanya.

Tawanya seolah mengatakan bahwa ia mengerti apa yang terjadi padaku tadi siang dan buat dia itu lucu. Oh, jadi gitu? Dan aku masih mau diantar pulang sama dia....

"Za," Zayn menyentuh bahuku.

"Apa?! Jangan pegang-pegang!" semprotku kesal.

"Iya, sorry. Habis kamu diem aja, nggak kayak biasanya." Zayn kembali fokus ke depan karena berhadapan dengan lampu yang menyala merah, "Kamu marah sama aku?"

Nah, ini dia. Akhirnya dia paham 'kan, kalo setelah peristiwa itu aku pantas marah padanya. Cuma, ya sayangnya enggak. Dasar aku!

Tiba-tiba Zayn meminggirkan kendaraannya ke kiri jalan. Bunyi klakson serentak menyerbu telinga kami berdua. Untuk nggak ada yang nabrak dari belakang. Kenapa sih, kok dia tiba-tiba berhenti.

"Zara, aku minta maaf." tiba-tiba tangan Zayn terulur ke pangkuanku dan merebut paksa kedua tanganku untuk digenggamnya, "Aku salah, aku yang salah. Aku memang bikin janji makan siang dengan Hannah juga..."

Tuh, kan, bener. Nggak mungkin ceweknya sampe ngamuk-ngamuk gitu kalo memang mereka nggak ada janji makan siang berdua dan ternyata Zayn sedang duduk denganku.

"Aku benar-benar minta maaf, Za. Ijinin aku nebus kesalahan dengan makan malam berdua kamu," Zayn mengendurkan genggamannya di tanganku, yang ternyata tak hendak kutarik darinya.

Baru saja hendak kubuka mulutku untuk menjawab dengan kekuatiran bahwa Hannah akan muncul lagi.

"Kita makan dekat kosan kamu nanti. Ini kita ke rumahku dulu ambil barangmu, okay?" kata-kata Zayn baru menyadarkanku bahwa tempat kosku sudah lewat jauh. Ternyata berada bersama Zayn itu bisa menghilangkan kesadaran ruang, ya? Kenapa aku jadi nggak normal begini kalau sudah berada di dekat Zayn?

Tanda (Bisa dibeli di Apps LONTARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang