13

145 85 0
                                    

Paman Jinyoung tiba tiba muncul dibelakang kami, aku senang sekali. Aku mengenalkannya pada Felix tapi Felix terlihat tidak terlalu suka dengan paman Jinyoung.

"Kau terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?" Tanya paman Jinyoung yang sedang duduk diantara Felix dan aku.

"Aku baik-baik saja paman, hanya kelelahan."

Paman Jinyoung tetap tenang dan ceria seperti biasanya. Aku selalu senang saat bersama paman Jinyoung, dia selalu saja punya cara untuk mengubah suasana hatiku yang buruk menjadi baik.

"Uhh, Jihan?" Seru Felix tiba tiba. "Kurasa aku harus pulang..."

"Kenapa?"

"Chris mengirim pesan aneh padaku." Jawabnya. "Mungkin dia sedang mabuk, aku harus melihat keadaannya."

Felix buru buru berdiri dan merapikan bajunya. "Jangan terlalu lama pulang atau kau akan masuk angin. Akan kuhubungi kau besok, istirahatlah yang cukup." Katanya kemudian berlari menjauhi dermaga itu.

"Kenapa dia buru buru begitu?" Tanya paman Jinyoung.

"Entahlah, dia tidak pernah seperti itu sebelumnya." Jawabku sambil menatap Felix berlari menjauh. "Mungkin benar benar darurat."

"Apa dia teman baikmu?"

"Iya." Jawabku tanpa ragu. "Dia sahabatku."

Paman Jinyoung menanggapi perkataanku dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca. Meremehkan? Menghina? Tidak percaya? Entahlah, ini pertama kalinya aku melihat ekspresi wajah paman Jinyoung seperti itu.

"Jangan terlalu percaya pada orang orang yang kau panggil sahabat."

"Apa maksud paman...?"

"Jaman sekarang sangat susah mendapat teman yang benar benar bisa dianggap teman, paman hanya tidak mau kau berteman dengan orang yang salah."

"Felix bukan orang yang salah. Dia sahabatku." Entah kenapa kalimat itu keluar lebih kasar dari pada dugaanku.

"Tidak perlu emosi seperti itu." Balasnya. Suaranya sangat menenangkan, dia memang punya bakat untuk menghadapi emosi orang lain. Tidak heran sampai sekarang dia tahan menghadapi ayahku. "Kau punya banyak masalah ya?"

Aku kembali teringat pada Jisung yang menghilang. "Tidak banyak..." Kataku sedih. "Tapi punya."

"Masalah seperti apa?"

"Aku..." Jawabku ragu. Haruskah kuberi tahu? "Aku kehilangan seseorang. Seseorang yang sangat penting."

"Paman mengerti perasaanmu itu." Katanya dengan tatapan tertuju pada langit malam yang indah. "Paman juga sedang merindukan orang."

"Benarkah? Siapa?"

"Anak paman." Aku terkejut mendengarnya, aku tidak pernah tahu kalau paman Jinyoung ternyata punya anak.

"Yah... Sebenarnya bukan anak paman." Sambungnya. "18 tahun lalu paman menemukan seorang bayi dengan kepala berdarah dibawah pohon dekat rumah paman. Paman masih sangat muda saat itu, tidak punya pekerjaan dan sedang mengalami masalah keluarga. Orang tua paman sering sekali bertengkar, jadi paman tidak ingin membesarkan masalah keluarga dengan membawa seorang anak bayi kerumah."

"Jadi? Apa yang paman lakukan pada bayi itu?"

"Paman membawanya ketempat persembunyian paman, sebuah pondok kecil dengan air bersih dan lingkungan yang sejuk. Paman membersihkan darahnya dan menemukan benjolan dikepalanya. Pikir paman, bayi itu pasti dilempar dan terbentur sampai bisa benjol seperti itu."

"Bagaimana paman mengurusnya?" Tanyaku penasaran.

"Setiap hari, paman datang setidaknya 7 kali ke pondok itu untuk melihat keadaan bayi itu. Paman sampai menahan lapar dan menabung untuk membelikan keperluan seperti popok dan susu untuk bayi itu."

"Apa orang tua paman tahu?" Tanyaku makin penasaran.

"Tidak, pondok itu agak jauh dari rumah paman, jadi untunglah sampai kedua orang tua paman wafat, mereka tidak tahu kalau paman sedang membesarkan anak."

"Tadi paman bilang kalau paman sedang kehilangan seorang anak, apa dia orangnya?"

"Ya, dia sudah tidak pulang selama 3 hari. Mungkin dia marah pada paman."

"Apa paman sudah coba mencarinya?"

"Belum, tapi itu tidak perlu, paman tahu dia berada dimana." Jawabnya tenang. "Akan paman berikan dia waktu untuk sendiri."

"Siapa namanya?"

Paman Jinyoung tidak menjawab. Malahan tiba-tiba dia berdiri dan melepaskan jaketnya. Dia memberikan jaketnya padaku kemudian membantuku berdiri.

"Sudah malam, kita lanjutkan saja obrolan kita besok." Katanya. "Mau bertemu besok? Jadwal paman kosong besok malam."

"Tentu!" Jawabku tak sabar. Selalu menyenangkan menghabiskan waktu bersama paman Jinyoung.

"Kau tahu SMA Sejong?"

"Aku tahu, kenapa memangnya paman?"

"Diseberang SMA Sejong ada kafe yang menjual cheesecake terenak di Seoul. Mau bertemu disana saja?"

Tenggorokanku tiba tiba tercekat. Itu kafe milik Hyunjin, haruskah aku kesana? Ke kafe milik orang dengan gangguan jiwa itu? Batinku.

Tapi aku yakin kalau paman Jinyoung yang menentukan, hasilnya pasti tidak mengecewakan. Jadi kuputuskan untuk menuruti permintaannya saja.

"Tentu!" Seruku. "Pukul berapa?"

"Bagaimana kalau pukul 6 sore besok?"

"Baiklah, jangan sampai terlambat paman!"

Dia hanya tertawa gemas. "Paman tidak akan terlambat. Ayo, akan paman antar kau pulang."

aftermath | felixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang