8

185 90 1
                                    

"Bagaimana penerbanganmu, ayah?" Tanyaku.

Aku meninggalkan sarapan dengan Felix dan Jisung kemudian langsung berangkat kesini dengan bus begitu dipanggil oleh ayahku. Sebenarnya aku tidak mau datang, tapi aku malas mendengar celotehnya kalau aku sampai melanggar permintaannya, jadi terpaksa aku harus datang demi memenuhi perintahnya.

"Sudah kubilang jangan panggil aku ayah kalau kita sedang dikantor." Jawabnya terganggu.

"Aku sudah tidak bekerja disini, ingat? Kau yang memecatku. Jadi aku bisa melakukan apa saja di kantor mulai saat ini tanpa terikat peraturan peraturan bodohmu."

Dia hanya menatapku sinis kemudian kembali fokus pada dokumen dokumen yang ada di depannya.

Ayahku adalah CEO dari perusahaan manhwa ini. Dia menentang keras tentang hobi menggambarku, tapi aku sampai bisa diterima di perusahaan ini karena sistem interview nya hanya melalui email dan kita tidak perlu bertemu langsung dengan pewawancaranya. Aku hanya mengirim salah satu karya gambaranku, dan aku diterima begitu saja.

Tapi semua tidak berlangsung lama, tidak sampai 6 bulan aku bekerja, ayahku sudah memecatku. Memang kejam, tapi aku tidak terkejut lagi.

Dia baru sampai dari bandara setelah penerbangan 3 jamnya dari Tokyo. Perusahaan manga disana mengajaknya untuk berkolaborasi, jadi dia diminta untuk hadir dalam rapat untuk membahas kolaborasi itu.

"Kau sudah makan?" Tanya ayahku dengan mata yang masih terfokus pada dokumen ditangannya.

"Memangnya kenapa? Sejak kapan kau peduli?"

"Jaga omonganmu, aku ini ayahmu."

"Langsung ke intinya saja, kenapa kau memanggilku kesini?"

"Apa salahnya? Ayah baru pulang dari Tokyo dan ingin bertemu putri ayah."

"Hentikan. Kubilang langsung ke intinya."

"Baiklah. Bantu ayah memeriksa dokumen dokumen ini, ayah lelah."

"Tentu saja ada maunya." Kataku dengan seringai jengkel. "Akan kulakukan nanti."

"Kenapa nanti?"

"Aku sedang sibuk."

"Sibuk melakukan apa? Kau sudah tidak bekerja lagi, kan?"

"Bukan urusanmu."

"Im Jihan, jaga cara bicaramu."

"Kau sendiri tidak pernah peduli dengan caramu memperlakukanku. Kenapa aku harus peduli denganmu, Im Jaebum?!" Bentakku kemudian berjalan keluar dari ruang CEO tanpa lupa membanting pintunya.

Dengan kesal aku berniat keluar dari gedung sialan itu. Tapi saat sudah berada di pintu keluar, aku bertemu paman Jinyoung yang sedang menikmati kopi paginya di kafeteria kantor.

"Jihan?" Kata paman Jinyoung sebelum aku sempat menyapa nya lebih dulu. "Kau sudah bertemu ayahmu?"

Aku mengangguk kemudian berjalan mendekatinya.

"Dia langsung kesini dari bandara tadi, dia pasti sangat lelah." Sambungnya.

"Aku tidak peduli. Kau tahu sendiri bagaimana dia selalu memperlakukan ku."

"Heish... Kau tidak boleh jahat begitu, dia tetap ayahmu." Katanya sambil menawarkan kopi yang dipegangnya tapi hanya kubalas dengan gelengan singkat menolak.

Kami berdua duduk berhadapan di kafeteria kantor, membicarakan hal hal tidak penting seperti bagaimana dia tumbuh di Korea, kota asalnya, makanan favoritku, dan basa basi lainnya.

"Berapa usiamu, Jihan?"

"18 tahun."

"Ah, paman ingat saat dulu paman masih berusia 18 tahun, waktu cepat sekali berlalu."

"Memangnya berapa usia paman?"

"37."

"Paman tidak setua perkiraanku."

"Benarkah? Jadi menurutmu berapa usia paman?"

"50."

"A... Apa paman terlihat setua itu...?!"

"Entahlah, kau selalu bersikap sangat dewasa. Itu membuatku berpikir kau jauh lebih tua."

Paman Jinyoung hanya tertawa terbahak bahak. Ayahku tidak pernah suka dengan paman Jinyoung, tapi dia tetap mempekerjakannya disini karena mantan bos ayahku dulunya yang mempekerjakan paman Jinyoung di perusahaan ini. Jadi walaupun mantan bos ayahku sudah wafat, ayahku tidak berani memecat paman Jinyoung untuk menghormati mendiang mantan bosnya.

"Jihan!" Orang yang dibicarakan tiba tiba muncul.

"Sial." Ketusku.

"Sudah berapa kali ayah melarangmu mendekati orang itu?!" Bentak ayahku yang tiba tiba muncul dan sedang berjalan kearah ku dan paman Jinyoung.

Demi Tuhan... Batinku kesal.

"Apa yang kau lakukan diluar kantor pada jam begini, CEO Im?" Tanya paman Jinyoung ramah, mengabaikan perkataan kasar ayahku.

"Bukan urusanmu, Jinyoung." Ayahku teguh pada sikap angkuhnya.

Paman Jinyoung tetap membalas perkataan ayahku dengan ramah, aku hanya bisa duduk menatap perbincangan aneh mereka. Ayahku selalu melontarkan perkataan pedas namun paman Jinyoung juga selalu punya jawaban ramah untuk itu. Kenapa ayahku bukan Jinyoung saja?

Tiba-tiba aku merasa ponselku bergetar, aku mengambilnya dari saku belakangku dan langsung memeriksa notifikasi yang baru saja masuk.

Felix
| Jihan
| Cepatlah kemari
| Jisung
| Terjadi sesuatu padanya
| Aku tidak bisa menangani ini sendiri
| Tolong kemarilah

aftermath | felixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang