15

150 85 2
                                    

Felix dan aku mengunjungi hampir setiap tempat wisata di Seoul. Sekarang sudah pukul 5 sore dan aku tidak pernah merasa lebih lelah dari ini, kakiku seperti mau patah dan cairan tubuhku seperti diperas habis.

"Apa kau lelah?" Tanya Felix. "Mau kubelikan minuman dingin dari supermarket dibelakang?"

Kami sedang duduk dibangku tempat kami pertama kali bertemu. Salju sedang turun dan pasangan pasangan muda berlalu lalang di depan kami memamerkan kemesraan mereka. Cukup menjengkelkan.

"Disini sudah sangat dingin, kenapa malah mau membeli minuman dingin lagi?" Tanyaku dengan senyuman agak kesal.

Felix hanya tertawa lembut. "Mau kupinjamkan jaketku?" Tawarnya.

Aku hanya menggeleng singkat tanda menolak. "Lagipula kenapa salju bisa turun? Bukankah musim dingin sudah berakhir?"

"Keterlambatan musim. Itu sering terjadi."

"Bagaimana di Australia? Apa keterlambatan musim dingin sering terjadi disana?"

"Aku jarang melihat salju di Australia." Jelasnya. "Kemungkinan besar karena disana berilkim tropis."

Aku hanya menatapnya berbicara, aku ingin terus menatapnya, aku ingin dia menjadi satu satunya hal yang terus kupandang. Aku masih tidak percaya dia akan pergi malam ini.

"Pukul berapa kau akan berangkat?" Tanyaku.

"Aku juga tidak tahu, Chris hanya mengatakan 'malam ini' tapi tidak mengatakan jam berapa."

Aku hanya menghela nafas panjang. "Bukannya aneh?"

"Apa yang aneh?"

"Kita sudah berkeliling Seoul tapi tetap saja kita belum menemukan Han Jisung." Aku tersenyum putus asa. "Apa Chris benar benar tidak tahu dimana Jisung?"

"Aku bertanya seperti itu padanya kemarin dan kau lihat sendiri bagaimana dia memukuliku."

Aku tak tahu jika aku harus tertawa atau sedih saat mendengar perkataannya itu.

"Apa kau menyukai Jisung?" Sambungnya.

"Tentu saja!" Jawabku semangat. "Bagaimana mungkin aku tidak suka padanya? Dia manusia ciptaanku!"

"Bukan seperti itu..." Balasnya. "Maksudku sebagai pria. Apa kau menyukainya sebagai pria?"

Apa maksud pertanyaannya itu?

"Entahlah." Aku hanya menatap sepatuku. "Aku tidak begitu mengerti tentang asmara."

Felix hanya terdiam. "Apa kau ada acara setelah ini..?"

"Setelah apa?" Tanyaku.

"Setelah..." Dia terlihat seperti tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. "Setelah aku pergi."

"Oh..." Tidak, jangan menangis lagi, tahanlah. "Aku sudah berjanji menemui paman Jinyoung malam ini."

"Siapa itu paman Jinyoung?"

"Kau sudah lupa? Kalian baru saja bertemu kemarin di dermaga tua itu."

"Oh, pria itu." Felix terlihat kesal. "Aku tidak terlalu suka padanya."

"Kenapa? Dia adalah pria terbaik yang pernah kutemui."

"Entahlah, ada sesuatu yang tidak beres dengannya."

"Itu hanya perasaanmu, dia itu pria baik." Ketusku.

Sudah semakin gelap, lampu lampu jalan mulai menyala dan sudah semakin sedikit orang yang terlihat. Angin lembut malam dan kepingan salju yang terus saja turun tidak membuat perasaanku lebih baik.

Tidak ada dari kami yang tahu harus mengatakan apa, aku tidak ingin berpisah dengannya dan aku tahu dia juga tidak ingin berpisah denganku. Ini adalah saat terakhir kita akan bersama, dan tidak ada dari kami yang tahu apa yang harus dilakukan.

"Sudah malam..." Sahutnya. "Aku harus pulang, Chris pasti menungguku."

"Aku juga harus pergi, aku sudah berjanji untuk menemui paman Jinyoung pada pukul enam."

"Dimana kau akan menemuinya?"

"Di kafe seberang SMA Sejong."

"Tempatmu bertemu Jisung dulu, ya?" Dia tertawa kecil.

Aku masih tidak percaya kalau aku akan kehilangan orang ini, satu satunya orang yang selalu mempercayai dan melindungiku, satu-satunya temanku.

"Kau baik-baik saja, kan?" Tanyanya.

C'mon, Felix. Kau tahu betul aku tidak baik-baik saja. Batinku.

"Yeah! Aku baik-baik saja!" Jawabku, berusaha terdengar ceria. "Kau? Kau juga baik-baik saja, kan?"

"Yeah... Aku tidak pernah merasa sebaik ini..." Dia tidak sehebat diriku saat berakting karena nada bicaranya sangat berlawanan dengan kalimat yang baru saja dilontarkan.

"Baiklah." Sambungnya, dia mulai berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Aku meraih tangannya, tangannya hangat dan sangat lembut. "Aku harus pergi sekarang."

"Aku juga." Jawabku. Kami berdua tersenyum pada satu sama lain, tapi aku bisa melihat matanya sudah berkaca kaca dan aku yakin dia bisa melihat mataku yang tidak jauh berbeda. "Jangan lupa hubungi aku begitu kalian sudah sampai."

Dia mengangguk—masih tersenyum lebar—kemudian kami mulai berjalan kearah berlawanan, membelakangi satu sama lain. Dia berjalan kearah apartemennya, dan aku berjalan kearah kafe dimana aku akan menemui paman Jinyoung.

Senyumanku mulai pudar dan air mata yang kutahan sejak tadi mulai menetes hebat. Aku tidak baik-baik saja.

Kami berdua tersenyum, kami berdua berbohong.

aftermath | felixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang