Lantai kamar mandi yang semula terlihat kotor kini sudah lebih bersih dan enak dipandang. Begitupun selokan dan tempat sampah.
Nisrina dan teman sekamarnya selesai menunaikan hukuman.
"Mbak maaf yaa beneran aku nggak tahu peraturan pondoknya." ujar Nurul yang mungkin sudah diucapkan lebih dari lima kali.
"Ya Allah Nurul, kami juga yang salah nggak sempat negur dan kasih tahu peraturan di sini. Jadi ya pantas lah kami juga yang kena hukum," jelas Iffah dengan menepuk pundak teman barunya itu.
"Tapi mbak ... "
"Kamu tahu nggak kenapa peraturan di sini diterapkan seperti ini?" Tiba-tiba Nisrina melontarkan pertanyaan kepada Nurul dan satu murid baru juga yang bernama Aini.
Mereka berdua menggeleng. "Nggak tahu mbak."
Nisrina menepuk lantai di sampingnya menyuruh mereka semua untuk duduk di sebelahnya.
"Kita dibiasakan untuk selalu menasehati dalam kebaikan mengingkari kemungkaran dengan nasihat. Coba bayangkan kalau kita dibiasakan tidak peduli dengan keadaan sekitar? Pasti akan ada banyak kejelekan yang kita biarkan saja dengan dalil bahwa bukan wewenang kita."
Nisrina melemparkan senyuman kepada keduanya lalu melanjutkan ucapannya, "kalau tidak ada yang saling mengingatkan maka akan semakin liar anak-anak yang berada di sini. Kalau tidak ada hukuman yang diterapkan maka kita tidak akan merasa memiliki tanggung jawab di sini. Apa gunanya seorang teman kalau membiarkan keburukan? Apa gunanya seorang teman kalau membiarkan satu kesusahan? Karena itu aku malah merasa bersyukur kalian mau memetik pelajaran yang kalian dapatkan dari sebuah kesalahan." Nisrina menutup ucapannya dengan sebuah salaman yang dia berikan.
Dan mereka semua menyambut Nisrina dengan gembira. Lalu memeluknya. Sepertinya kini dia mulai lebih dewasa.
****
"Mbak, mbak Rina umur berapa?" tanya Aini sewaktu di kamar.
"19. Kenapa?"
Aini tersenyum. "Nggak papa mbak."
Nisrina tersenyum juga lalu kembali menata bukunya yang dia rasa sudah mulai tidak terpakai. Menaruhnya kedalam koper berukuran sedang.
"Mbak Rina udah siap nikah?"
Sontak pertanyaan dari Aini yang tiba-tiba itu membuat Nisrina menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke arah gadis yang masih berumur tiga atau empat belas tahunan itu.
"Eeeeh.. Ya ampun belum kepikiran ah."
"Emang kenapa? Mau dijodohin sama siapa?" tanya Habibah yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Aini menggaruk kepalanya yang terbalut jilbab berwarna biru. "Ehehe mau nggak sama abangku?"
Nisrina melotot hampir saja matanya keluar rasanya.
Dengan canggung Nisrina berucap sopan, "Mbak mau fokus nyelesain belajar dulu ... hihi belum kepikiran buat nikah."
"Tapi abangku juga masih belajar di sini mbak. Mau lulus satu tahun lagi. Kata Umiku kalau ada mbak yang siap nikah bisa ditawarkan ke abang."
Sontak semua yang ada di dalam sana menahan tawa dengan mengeratkan bibir mereka.
"Eh... coba minta cariin ustazah aja ya. Mbak sama sekali belum siap nikah. Beneran deh." Nisrina pasrah dia ingin keluar dari pembahasan ini.
"Oh gitu. Tapi kalau mbak sudah lulus juga gak papa."
Dan saat itu Nisrina mendengar suara tawa yang ditahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Hidup
SpiritualPerjalanan hidup Mengkisahkan kisah seorang gadis bernama Nisrina Al mahira yang berkeinginan untuk berada di sebuah pesantren. Karena menurutnya pesantren adalah tempat yang ingin dia ambil ilmunya untuk menjadikan sebuah bekal perjalan hidupnya...