Part 3. Kangen!

14K 730 8
                                    

"Va! Tunggu!" pekik Adhisty nyaring, pada Lavanya yang berjalan tak jauh di depannya.

"Kenapa?" Lavanya berbalik.

"Malem ini gue nginep tempat lo, ya!"

"Hah? Nginep? Ngapain? M--maksud gue, kenapa?"

"Eh? Bukannya dulu biasa, ya? Waktu masih di kosan, gue biasa nginep, kan?"

"Oh, itu ... anu ... yaaa, ngga apa-apa sih. Tapi.... " Lavanya menggaruk tengkuknya.

"Bentar gue ke sana jam lapan-an, yak! Makasiiiih!"

Usai berucap, Adhisty berlari meninggalkan Lavanya, tanpa sempat menjawab.

Menginap? Bagaimana jika Syailendra tidak mengizinkan hal itu terjadi? Mengingat, selama ini lelaki itu sangat membatasi dirinya? Berbagai tanya itu memenuhi benak Lavanya setelah kepergian Adhisty.

"Bukan aku ngelarang kamu bergaul, Va. Tapi, kamu tau sendiri kan, gimana orang infotainment itu? Mereka akan terus ngulik kehidupan kamu, begitu aku milih kamu." Begitu kata Syailendra saat itu.

Sebenarnya banyak aturan yang terlalu berlebihan untuk sekedar pacaran. Hal yang kadang membuat Lavanya merasa sebal dengan aturan Syailendra untuknya. Sementara pasangan selebritis lain, mereka bebas melakukan apa saja.

Lalu  siapa Syailendra? Artis juga bukan. Hanya seseorang yang berdiri di belakang layar, ter-ekspose hanya sesekali, jika acara yang ia gawangi meraup sukses besar.

Lagi, Lavanya membatin. Bagaimanapun, ia dan Adhisty sangatlah dekat. Jadi, melarang sahabatnya itu menginap akan percuma. Karena pasti dia akan datang.

Sebenarnya bayak pertanyaan-pertanyaan yang sering terlintas di benak Lavanya atas sikap posesif pacar bayarannya itu. Namun gadis itu memilih diam tanpa bertanya. Baginya, asal Syailendra tak melanggar batasan di antara mereka, itu sudah cukup. Toh, untuk 'pekerjaan' itu, ia telah dibayar mahal. Seratus juta lebih, hanya sebagai pacar sewaan.

Luar biasa bukan?

***

Danesh menepikan mobil yang ia kendarai, ketika mendapati Lavanya berdiri di tepi jalan. Menurunkan kaca, lelaki itu melongok keluar, wajahnya mencoba menjangkau gadis itu.

"Va, mau ikut?"

"Oh, Danesh? Nggak, aku naik angkot aja. Makasih," tolak Lavanya.

Gadis itu menegakkan kembali tubuhnya yang sejenak tadi sedikit membungkuk. Tanpa ia duga, Danesh justru turun  menghampiri. Mendekat dengan senyum manis yang terkembang seperti biasa.

"Ngga apa-apa, Va. Jam segini macet banget, ikut aku aja, ya?" Senyum manis masih terulas di bibir Danesh.

"Ng .... " Tampak gadis itu berpikir sejenak.

Ragu, Lavanya bahkan tak tahu harus menjawab apa sebagai bentuk penolakan. Ia hanya enggan jika sampai Syailendra melihatnya lagi-lagi bersama Danesh.

Ingin rasanya Lavanya menolak, tapi tatapan dan senyum lembut pemuda di hadapannya, berhasil membuatnya luluh. Berada di dekat Danesh, membuat sesuatu berdesir dalam dadanya. Jauh, tapi tetap terasa nyata dan mendebarkan.

"Ayok!" Danesh membuka pintu, lalu mempersilakan Lavanya masuk.

"Danesh, nggak perlu. Nggak apa-apa kali, aku udah biasa kok macet-macetan di angkot. Beneran .... " Lavanya masih berusaha menolak.

"Kata orang tua, nggak baik menolak rejeki." Dengan lembut, Danesh meraih lengan Lavanya untuk masuk ke mobil.

Baru saja gadis itu hendak menurut, ketika pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang menepi tepat di depan mobil Danesh. Mobil berwarna legam, yang sangat ia kenal.

KEKASIH BAYARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang