Part 6. Permintaan Maaf atau Denda?

12.4K 691 12
                                    

"Va, habis ini mau kemana?" Danesh menghampiri Lavanya yang sedang merapikan meja kerjanya.

Waktu audah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, dan seluruh kubikel di ruangan itu tengah sibuk. Berkemas, lalu pulang tentu saja.

"Ngg ... pulang. Kenapa?" Gadis itu masih terus merapikan meja dan mengutip benda miliknya tanpa berbalik.

"Nggak mau jalan dulu?" Pria itu mendekat, lalu bersandar di meja Lavanya.

"Ke mana?"

"Ngg ... gimana kalo kita makan?" Danesh menggulung lengan kemeja yang ia kenakan hingga siku. "Gimana kalo kamu anggap aja ini candle light dinner?"

"Romantis kah?" Lavanya meninggalkan meja, lalu mendekat ke arah Danesh sembari melebarkan senyumannya.

Tak menunggu lama, keduanya lalu berjalan meninggalkan kantor, setelah berbincang beberapa saat. Mereka melangkah beriringan menuju parkiran, lalu menuju sebuah pusat perbelanjaan, tak jauh dari pusat kota.

Memilih sebuah restoran cepat saji, Lavanya dan Danesh menghabiskan waktu dengan berbincang. Menghabiskan waktu nyaris satu jam karena harus menembus macet, tak lupa mereka memesan beberapa makanan pembuka yang segar.

Menikmati salad buah dan minuman rasa mangga kesukaanya, Lavanya terus mengutus senyuman. Tak jarang tawa mengudara di antara mereka berdua. Jika dilihat, mereka tampak sebagai sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu bersama.

"Kamu suka main, nggak?" tanya Danesh sembari mengelap mulut dengan tissu. Keduanya baru saja selesai menyantap makan malam mereka.

"Main?" Lavanya menaikkan alis.

"Tangkap boneka, dance, trampol--"

"Suka!" tukas Lavanya sembari menyesap minumannya.

"Oke, yuk! Biar junk food-nya ngga jadi lemak." Pria itu bangkit.

"Boleh!" Lavanya menyahut dengan bersemangat sembari mengulurkan tangan.

Danesh menggandeng Lavanya menuju area bermain anak yang ramai. Senyum lebar dan tawa tak pernah lepas dari bibir keduanya. Mewakili hati yang tengah dipenuhi kuntum aneka warna.

"Mau ini?" Danes menuju area di mana seseorang bisa berjingkrak dan menari sesuka hati.

"Tapi aku pake ini," ucap Lavanya menunjukkan heels yang ia pakai.

"Gampang! Sini," ucap Danesh.

Serta merta pria itu berlutut lalu membantu Lavanya membuka sepatunya. Membuat gadis itu risih, tetapi tak menolak.

"Beres, kan?"

Lavanya mengangguk.

Keduanya lantas larut dalam permainan itu hingga beberapa saat. Menghentakkan kaki sesuai tampilan pada layar. Tentu saja itu membuat kening mereka berpeluh dan napas memburu.

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat, ketika mereka bersiap untuk pulang. Cukup rasanya tertawa bebas dan bersenang-senang untuk hari ini. Sebelum keluar, langkah keduanya lagi-lagi terhenti di depan sebuah mesin.

"Mau coba?" tanya Danesh penuh semangat.

"Boleeeeeh!"

Lavanya menganggukkan kepala beberapa kali, saat Danesh menawarkan permainan capit boneka. Bibirnya selalu melengkungkan senyum, sesekali tertawa lebar.

Danesh memasukkan sejumlah koin, lalu Lavanya menggenggam tuas di bagian atas mesin. Mengarah pada sebuah boneka yang menarik perhatiannya.

"Aaahhh," rengeknya, ketika boneka itu gagal ia dapatkan.

KEKASIH BAYARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang